Stigma Perempuan Dengan Jam Malam
Orang-orang pada keras berteriak, terus kenapa aku dilarang? Karena aku perempuan jadi aku gak boleh berontak ketika merasa ketidakadilan? Karena aku bukan mahasiswa lagi jadi dilarang bersuara? Karena aku bukan siapa-siapa dan tidak terikat apapun? Karena apa? Dikit-dikit bilang “jangan, nanti kamu..” “jangan, kamu perempuan” “kasihan orang tuamu” dan lainnya.
Stigma masyarakat, kok banyak yang mendiskriminasi, ya? Dari dulu, loh! Laki-laki pulang larut, tak apa. Perempuan pulang larut, dilarang. Aku juga bisa berantem kok! Aku tidak takut setan juga kadang-kadang. Berani pulang jalan kaki sendiri dari kampus ke kosan meskipun jalanan gelap dan sudah sangat larut.
Aku kuliah di kampus yang terkenal karena daerah pesantren, Kota Santri katanya. Lalu, waktu aku pertama kali pulang larut karena akan terbit buletin yang mengharuskan rapat redaksi sampai larut, yang perempuan sering dapat diskriminasi.
Kalian tahu? Kami yang perempuan langsung berteriak keras “di sini perempuannya kerja, bukan jadi objek mesum!” Loh memang benar kok, kami kalau tidur di sekre ya tertib, bergantian juga yang layout, editing dan istirahat. Lalu kenapa kami tidak boleh bekerja sama dengan yang laki-laki kerjakan?
Saat itu angkatanku perempuannya banyak yang turun ke lapangan untuk liputan, dalam sehari aku bisa menulis dua sampai tujuh tulisan, jarang sekali nulis satu tulisan. Aku tidak peduli, sama sekali tidak peduli dengan stigma kepadaku bahwa aku “perempuan gak benar” di kampus.
Loh, orang-orang mana peduli ketika aku meminta janjian untuk wawancara dan narasumber bilang “jam sembilan malam ya, saya baru ada waktu” “nanti selepas Isya ya baru datang ke sini” dan lain sebagainya yang mengharuskan aku pergi larut malam. Bahkan saat aku harus kajian mengenai hal-hal penting di kampus, aku tidak bisa mengambil jam pagi atau siang karena aku harus kuliah dan liputan, aku juga masih masa bimbingan saat mahasiswa baru, aku juga harus rapat redaksi, dipikirnya aku tidak butuh napas?
Banyak orang aneh di luaran sana. Bahkan keadaan semakin parah ketika aku ikut Organisasi Mahasiswa, sangat banyak stigma perempuan harus pulang sebelum jam sembilan malam. Aku mana bisa? Rapat saja bisa sampai jam sebelas malam! Ini bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga masyarakat setempat. Zamanku belum sebebas zaman kampusku sekarang, loh. Pulang larut saja dituduh habis melacur. Tidak percaya? Haha andai buktinya masih ada semua.
Aku menghabiskan banyak waktu untuk ikut mengubah keadaan, perempuan juga bisa mendapat kesempatan jadi seperti yang lain. Aku tidak mengajari adik-adikku, aku memberi contoh, bahwa perempuan harus berani, tapi harus beretika juga, ingat, kodratnya perempuan memang lembut. Meskipun aku tetap keras berteriak. Aku termasuk terkenal bisa bicara dari ujung ke ujung untuk minta perhatian pimpinan sidang saat masih tingkat dua, aku merasa sebagai perempuan, sudahlah duduk di belakang, masa hak bicara masih dibatas-batasi.
Laki-laki yang katanya pantas, ketika aku mengemukakan pendapat justru mencaci-maki, takut kalah? Haha, iyalah! Mereka benar kalah, kok. Aku merasa benar ya gak akan takut. Camkan itu untuk semua orang, bukan perempuan saja. Sama seperti aku ingin diperlakukan sama tanpa dipandang rendah ketika melakukan hal yang harusnya tidak dilakukan perempuan di “zaman dulu”. Akhirnya, makin ke sini perempuan makin dipertimbangkan, kok. Banyak yang berjuang dan aku berterima kasih untuk itu, entah siapapun itu, mereka hebat.
Stigma yang menyudutkan, menghina hingga melecehkan perempuan dengan jam malam ini memang harus diperangi. Aku pernah menjadi satu-satunya perempuan yang ikut suatu kajian masalah korupsi yang dilakukan mahasiswa di kampus ku, sialnya aku yang saat itu punya pacar justru ditunggui sampai disuruh pulang. Sejak saat itu aku menilai betapa bajingannya laki-laki yang menahan langkah perempuan untuk mendapatkan keadilan. Aku bahkan hampir kehilangan jabatanku karena ketua ku saat itu mengetahui hubunganku dengan mantanku ini berantakan, ya masa bodoh, aku lebih peduli dengan keadilan dan hak untuk mahasiswa, aku kuliah untuk belajar bukan untuk pacaran.
Akhirnya, pada sebuah kesempatan aku dinilai tidak menyayangi hubungan itu dan tidak peduli dengan laki-laki itu. Ya, memang lebih penting urusan kampus ku, aku harus berjuang untuk hak-hak aku dan kawan-kawanku. Pacaran adalah masalah receh, meskipun aku sedih sering dipandang rendah, tapi aku punya banyak orang baik di sekitarku. Aku tidak peduli pada yang membuatku mundur dalam kebaikan dan kebenaran.
Hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di dunia kampusku saja, mungkin kampus lain juga mengalaminya. Bahkan di lingkungan rumah aku pun seperti ini. Kedua orang tuaku yang percaya pada anaknya ya tidak peduli dengan omong kosong tetangga bahwa anaknya ini melakukan hal yang tidak benar (saat zaman sekolah), aku tetap melakukan hal-hal menyenangkan dan kebaikan lain bersama teman-temanku. Pada akhirnya keadaan setelahnya yang akan dilihat, bagaimana aku masih baik-baik saja dan entah apa kabar anak orang-orang yang menuduh itu. Bukan urusanku pula.
Oh iya, aku pernah menulis soal aku dibilang sangat bucin. Iya, banyak dituduh begitu. Padahal, aku seringkali ribut dengan pacarku karena tidak ingin aku pulang lebih dari jam sebelas malam, loh aku ini bukan sedang kongkow dengan kawan, aku sedang rapat, aku sedang sidang, aku sedang menulis, aku sedang melakukan hal-hal penting yang bukan menyangkut diriku sendiri. Jadi, aku memilih bertengkar dibanding harus mengorbankan “lagi” orang-orang yang harusnya mendapatkan haknya. Seperti anggotaku yang butuh aku untuk dibimbing.
Bucin adalah ketika kita merasa diperbudak, sedangkan aku sama sekali tidak merasa diperbudak. Diperbudak apanya? Disuruh ada jam malam, aku tak pedulikan jika itu tidak membuatku senang. Saat aku harus pulang larut, aku akan melakukannya demi kepentingan banyak orang.
Bukankah laki-laki yang ikut organisasi juga akan melakukan hal yang sama? Mempedulikan kepentingan banyak orang dibanding pasangannya? Lalu, perempuan tidak boleh? Jahat sekali stigma yang melekat untuk perempuan. Aku tidak meminta orang-orang untuk mematahkan stigma itu, tapi ketika ada perempuan yang sedang berjuang untuk mematahkan stigma itu, ya biarkan saja asal masih dalam jalur yang benar. Sekalipun melacur pun ia sedang memberi nafkah, tak ada solusi lainkah selain menghujat? Memberi pekerjaan lain misalnya. Tapi ya terserah, aku ini siapa sehingga harus dituruti? Perintah Tuhan saja masih sering kita langgar sebagai manusia biasa.
Jangan pernah redup untuk menjadi cahaya bagi makhluk hidup lain. Jangan jadi lilin yang ikut leleh demi bersinar. Jadilah kuat untuk bertahan dan ikhlas atas sinar yang dibagi untuk kegelapan lain.
Iftihal Muslim Rahman.
Stigma masyarakat, kok banyak yang mendiskriminasi, ya? Dari dulu, loh! Laki-laki pulang larut, tak apa. Perempuan pulang larut, dilarang. Aku juga bisa berantem kok! Aku tidak takut setan juga kadang-kadang. Berani pulang jalan kaki sendiri dari kampus ke kosan meskipun jalanan gelap dan sudah sangat larut.
Aku kuliah di kampus yang terkenal karena daerah pesantren, Kota Santri katanya. Lalu, waktu aku pertama kali pulang larut karena akan terbit buletin yang mengharuskan rapat redaksi sampai larut, yang perempuan sering dapat diskriminasi.
Kalian tahu? Kami yang perempuan langsung berteriak keras “di sini perempuannya kerja, bukan jadi objek mesum!” Loh memang benar kok, kami kalau tidur di sekre ya tertib, bergantian juga yang layout, editing dan istirahat. Lalu kenapa kami tidak boleh bekerja sama dengan yang laki-laki kerjakan?
Saat itu angkatanku perempuannya banyak yang turun ke lapangan untuk liputan, dalam sehari aku bisa menulis dua sampai tujuh tulisan, jarang sekali nulis satu tulisan. Aku tidak peduli, sama sekali tidak peduli dengan stigma kepadaku bahwa aku “perempuan gak benar” di kampus.
Loh, orang-orang mana peduli ketika aku meminta janjian untuk wawancara dan narasumber bilang “jam sembilan malam ya, saya baru ada waktu” “nanti selepas Isya ya baru datang ke sini” dan lain sebagainya yang mengharuskan aku pergi larut malam. Bahkan saat aku harus kajian mengenai hal-hal penting di kampus, aku tidak bisa mengambil jam pagi atau siang karena aku harus kuliah dan liputan, aku juga masih masa bimbingan saat mahasiswa baru, aku juga harus rapat redaksi, dipikirnya aku tidak butuh napas?
Banyak orang aneh di luaran sana. Bahkan keadaan semakin parah ketika aku ikut Organisasi Mahasiswa, sangat banyak stigma perempuan harus pulang sebelum jam sembilan malam. Aku mana bisa? Rapat saja bisa sampai jam sebelas malam! Ini bukan hanya untuk mahasiswa, tapi juga masyarakat setempat. Zamanku belum sebebas zaman kampusku sekarang, loh. Pulang larut saja dituduh habis melacur. Tidak percaya? Haha andai buktinya masih ada semua.
Aku menghabiskan banyak waktu untuk ikut mengubah keadaan, perempuan juga bisa mendapat kesempatan jadi seperti yang lain. Aku tidak mengajari adik-adikku, aku memberi contoh, bahwa perempuan harus berani, tapi harus beretika juga, ingat, kodratnya perempuan memang lembut. Meskipun aku tetap keras berteriak. Aku termasuk terkenal bisa bicara dari ujung ke ujung untuk minta perhatian pimpinan sidang saat masih tingkat dua, aku merasa sebagai perempuan, sudahlah duduk di belakang, masa hak bicara masih dibatas-batasi.
Laki-laki yang katanya pantas, ketika aku mengemukakan pendapat justru mencaci-maki, takut kalah? Haha, iyalah! Mereka benar kalah, kok. Aku merasa benar ya gak akan takut. Camkan itu untuk semua orang, bukan perempuan saja. Sama seperti aku ingin diperlakukan sama tanpa dipandang rendah ketika melakukan hal yang harusnya tidak dilakukan perempuan di “zaman dulu”. Akhirnya, makin ke sini perempuan makin dipertimbangkan, kok. Banyak yang berjuang dan aku berterima kasih untuk itu, entah siapapun itu, mereka hebat.
Stigma yang menyudutkan, menghina hingga melecehkan perempuan dengan jam malam ini memang harus diperangi. Aku pernah menjadi satu-satunya perempuan yang ikut suatu kajian masalah korupsi yang dilakukan mahasiswa di kampus ku, sialnya aku yang saat itu punya pacar justru ditunggui sampai disuruh pulang. Sejak saat itu aku menilai betapa bajingannya laki-laki yang menahan langkah perempuan untuk mendapatkan keadilan. Aku bahkan hampir kehilangan jabatanku karena ketua ku saat itu mengetahui hubunganku dengan mantanku ini berantakan, ya masa bodoh, aku lebih peduli dengan keadilan dan hak untuk mahasiswa, aku kuliah untuk belajar bukan untuk pacaran.
Akhirnya, pada sebuah kesempatan aku dinilai tidak menyayangi hubungan itu dan tidak peduli dengan laki-laki itu. Ya, memang lebih penting urusan kampus ku, aku harus berjuang untuk hak-hak aku dan kawan-kawanku. Pacaran adalah masalah receh, meskipun aku sedih sering dipandang rendah, tapi aku punya banyak orang baik di sekitarku. Aku tidak peduli pada yang membuatku mundur dalam kebaikan dan kebenaran.
Hal-hal seperti ini tidak hanya terjadi di dunia kampusku saja, mungkin kampus lain juga mengalaminya. Bahkan di lingkungan rumah aku pun seperti ini. Kedua orang tuaku yang percaya pada anaknya ya tidak peduli dengan omong kosong tetangga bahwa anaknya ini melakukan hal yang tidak benar (saat zaman sekolah), aku tetap melakukan hal-hal menyenangkan dan kebaikan lain bersama teman-temanku. Pada akhirnya keadaan setelahnya yang akan dilihat, bagaimana aku masih baik-baik saja dan entah apa kabar anak orang-orang yang menuduh itu. Bukan urusanku pula.
Oh iya, aku pernah menulis soal aku dibilang sangat bucin. Iya, banyak dituduh begitu. Padahal, aku seringkali ribut dengan pacarku karena tidak ingin aku pulang lebih dari jam sebelas malam, loh aku ini bukan sedang kongkow dengan kawan, aku sedang rapat, aku sedang sidang, aku sedang menulis, aku sedang melakukan hal-hal penting yang bukan menyangkut diriku sendiri. Jadi, aku memilih bertengkar dibanding harus mengorbankan “lagi” orang-orang yang harusnya mendapatkan haknya. Seperti anggotaku yang butuh aku untuk dibimbing.
Bucin adalah ketika kita merasa diperbudak, sedangkan aku sama sekali tidak merasa diperbudak. Diperbudak apanya? Disuruh ada jam malam, aku tak pedulikan jika itu tidak membuatku senang. Saat aku harus pulang larut, aku akan melakukannya demi kepentingan banyak orang.
Bukankah laki-laki yang ikut organisasi juga akan melakukan hal yang sama? Mempedulikan kepentingan banyak orang dibanding pasangannya? Lalu, perempuan tidak boleh? Jahat sekali stigma yang melekat untuk perempuan. Aku tidak meminta orang-orang untuk mematahkan stigma itu, tapi ketika ada perempuan yang sedang berjuang untuk mematahkan stigma itu, ya biarkan saja asal masih dalam jalur yang benar. Sekalipun melacur pun ia sedang memberi nafkah, tak ada solusi lainkah selain menghujat? Memberi pekerjaan lain misalnya. Tapi ya terserah, aku ini siapa sehingga harus dituruti? Perintah Tuhan saja masih sering kita langgar sebagai manusia biasa.
Jangan pernah redup untuk menjadi cahaya bagi makhluk hidup lain. Jangan jadi lilin yang ikut leleh demi bersinar. Jadilah kuat untuk bertahan dan ikhlas atas sinar yang dibagi untuk kegelapan lain.
Iftihal Muslim Rahman.
Komentar
Posting Komentar