Bayangan
Oleh: Iftihal Muslim Rahman
Kau berbisik lantang di telinga yang rindu kelembutan, “kapan aku menyakitimu?” Tanyanya. Lalu aku bergeming, tersenyum miris tapi suatu ketidakmampuan berkata lagi.
Kapan? Kapan katanya? Tak sadarkah tiap harinya adalah kesakitan untukku? Cinta yang katanya hembusan nafas itu telah mencekikku hingga sesak. Aku lupa kapan terakhir kali sanggup tenang tanpa bayang kehilangan dan penghianatan.
Rusakkah sudah hatiku? Rusakkah sudah rasamu? Rusakkah sudah hubungan yang mati-matian ku perjuangkan ini? Sudah selesaikah? Apakah kau tersiksa selama ini? Sampai kapan aku akan menyiksamu dengan segala prasangka?
Kau tak bisa memberiku percaya, keyakinan itu musnah sejak kau tancapkan belati lewat dia yang kembali hidup bersamamu, kau menerima hadirnya dan membuatku bodoh tak tahu apa-apa. Kau lupa aku punya Tuhan yang tiap lima waktunya ku mengemis supaya beritahu aku jika kau sembunyikan kesakitan, jika kau menyakitiku lagi dan lagi.
Dan itu selalu terjadi, apa yang kau sembunyikan, dengan mudah ku tahui, sadarkah engkau sudah menggali pusaramu sendiri? Bisakah benar-benar jujur tanpa menutupi lagi? Bisakah berhenti menyakitiku? Bisakah membuat aku kembali percaya? Kau merusakku, kasih.
Bukankah tiap trauma ini telah membunuhmu? Aku yang hidup dalam banyak ketakutan telah merajammu dengan hidup dalam kenyataan paling pahit di jagat raya ini. Bisakah kau memilih ingin berada dimana tanpa ada di tengah-tengah? Itu kian menyakitiku, Kasih.
Ada dimana engkau kini? Apa yang kau ingini? Hidup bersamaku dengan terus meyakinkanku? Atau berhenti hidup seperti ini sebab kau tak sanggup hidup untuk menjaga aku yang sudah babak belur?
Hujan deras disertai angin kencang ini melarutkan aku dalam tidur, aku benci untuk bangun. Bisakah kembalikan tenangku? Satu hari saja aku tak ingin kelelahan. Hatiku, pikiranku, tak pernah berhenti meraba takdir. Aku lelah. Aku lelah! Aku lelah, tangisku.
Mei 2020
Kau berbisik lantang di telinga yang rindu kelembutan, “kapan aku menyakitimu?” Tanyanya. Lalu aku bergeming, tersenyum miris tapi suatu ketidakmampuan berkata lagi.
Kapan? Kapan katanya? Tak sadarkah tiap harinya adalah kesakitan untukku? Cinta yang katanya hembusan nafas itu telah mencekikku hingga sesak. Aku lupa kapan terakhir kali sanggup tenang tanpa bayang kehilangan dan penghianatan.
Rusakkah sudah hatiku? Rusakkah sudah rasamu? Rusakkah sudah hubungan yang mati-matian ku perjuangkan ini? Sudah selesaikah? Apakah kau tersiksa selama ini? Sampai kapan aku akan menyiksamu dengan segala prasangka?
Kau tak bisa memberiku percaya, keyakinan itu musnah sejak kau tancapkan belati lewat dia yang kembali hidup bersamamu, kau menerima hadirnya dan membuatku bodoh tak tahu apa-apa. Kau lupa aku punya Tuhan yang tiap lima waktunya ku mengemis supaya beritahu aku jika kau sembunyikan kesakitan, jika kau menyakitiku lagi dan lagi.
Dan itu selalu terjadi, apa yang kau sembunyikan, dengan mudah ku tahui, sadarkah engkau sudah menggali pusaramu sendiri? Bisakah benar-benar jujur tanpa menutupi lagi? Bisakah berhenti menyakitiku? Bisakah membuat aku kembali percaya? Kau merusakku, kasih.
Bukankah tiap trauma ini telah membunuhmu? Aku yang hidup dalam banyak ketakutan telah merajammu dengan hidup dalam kenyataan paling pahit di jagat raya ini. Bisakah kau memilih ingin berada dimana tanpa ada di tengah-tengah? Itu kian menyakitiku, Kasih.
Ada dimana engkau kini? Apa yang kau ingini? Hidup bersamaku dengan terus meyakinkanku? Atau berhenti hidup seperti ini sebab kau tak sanggup hidup untuk menjaga aku yang sudah babak belur?
Hujan deras disertai angin kencang ini melarutkan aku dalam tidur, aku benci untuk bangun. Bisakah kembalikan tenangku? Satu hari saja aku tak ingin kelelahan. Hatiku, pikiranku, tak pernah berhenti meraba takdir. Aku lelah. Aku lelah! Aku lelah, tangisku.
Mei 2020
Komentar
Posting Komentar