Musim Berganti
Oleh: Iftihal Muslim Rahman
Aku selalu melangkah untuk lebih baik dari waktu ke waktu. Aku berusaha jadi kawan menyenangkan di rumah. Aku berusaha berhenti memikirkan hatiku dan egoku yang bagi kalian sebuah petaka. Kau tahu, sesulit apa rasanya menahan diri untuk marah dan menangis, setiap hari? Aku lakukan itu.
Bertahun-tahun waktu terlewat hanya untuk berusaha meyakinkan diri sendiri bahwa rumah adalah tempat terbaik selepas doaku dulu agar segera keluar dari rumah dan memulai kehidupan tanpa banyak sakit hati, aturan dan kekangan, apalagi rasa dibedakan.
Aku, sebagai perempuan yang paling beda, yang paling suka menyendiri, yang paling tidak ingin peduli dengan apapun, yang terus menyembunyikan senyumnya, yang ingin selalu tampak mandiri, yang ingin terus menutupi segala gelisah, yang ingin terus sendirian hingga bersikap dingin dan menyeramkan, yang terus asik dengan dunianya, yang hadirnya selalu tidak diterima kalian, berusaha untuk merubah itu selama waktu singkat di kota orang.
Tidak tahukah kamu sesulit apa itu? Untuk menjadi menyenangkan meski hadirnya selalu ditolak, untuk menjadi tempat berkeluh meski hadirnya selalu dicaci, untuk menjadi penyayang meski hadirnya selalu dimaki, untuk menahan kecewanya diperlakukan asing di rumah sendiri oleh kawanan yang ia pikir bisa menjadi tempat ternyamannya untuk bersandar. Tahukah kamu sesulit apa itu?
Pernah ku dengar kau berbisik akan memperlakukanku sebagai orang asing nantinya, akan jadi bahan gunjingan sebab tak pernah baik katanya di rumah. Tahukah kamu seberat apa usahaku agar tetap mempertahankan cintaku pada seorang lelaki di luar pulau sana, supaya bisa tinggal dalam satu pulau yang sama dengan kita? Supaya tidak ada jarak yang begitu jauh daripada hari kemarin di perantauanku.
Kau memusnahkan harapanku untuk bahagia di sini. Betapa aku menjadi sosok paling buruk, paling hitam, paling dibenci. Apakah aku sehina itu hingga dilarang untuk kau sayangi? Apakah aku tak boleh memelukmu kala dunia begitu berat sedang aku pernah ada di duka yang sama? Bolehkah aku mengambil peran sebagai penguatmu? Apakah tidak? Bisumu dalam setiap tanyaku. Kau enggan bicara jika itu denganku.
Aku seperti dibisikkan entah oleh setan entah mendapat jawaban dari Tuhan, bahwa aku boleh melangkah lebih jauh lagi, tidak ada yang keberatan jika aku hidup terasing di luar sana, tidak ada kehilangan yang perlu aku khawatirkan. Semua baik-baik saja, siapa peduli?
Aku salah besar terus beradu amarah dengan egoku, kala ku fikir harusnya berhenti memperbaiki diri supaya kita akur, tapi hati bilang mungkin saja kau akan menerima kehadiranku. Tidak, tidak akan pernah terjadi. Aku tidak aka pernah masuk dalam peradabanmu yang suci, aku terlalu najis untuk ada disana. Maka berbahagialah.
Aku hanya berharap karma itu mitos legenda bahwa kau tak akan mendapat perlakuan yang sama seperti yang kau lakukan padaku; penolakan dan keterasingan. Hiduplah dengan tenang, jika aku mati atau pergi jauh suatu hari nanti, kau tak akan peduli, bukan? Tak akan bersedih ataupun merapal untukku, kau akan baik-baik saja, jauh lebih baik, akan lebih tenang, seperti hari kemarin sebelum aku ada di sini lagi.
Sungguh, aku melarangmu menangisi pusaraku pada waktunya nanti, bisa jadi kematian hadir lebih dulu padaku. Air matamu hari nanti, adalah yang aku inginkan hari ini, pedulimu, kasih sayangmu, bukan di atas makam ku, di atas tubuhku yang telah tertutup tanah.
Kau menang.
Bekasi, 4 Mei 2020
Komentar
Posting Komentar