Perspektif Tentang Budak Cinta
Oleh: Iftihal Muslim Rahman
Hari ini aku akan bercerita soal bagaimana bisa aku yang hidup semaunya dibilang budak cinta? Aku merasa tidak diperbudak sama sekali padahal oleh pasangan. Dia melarang? Memang bisa? Sudah tahukah kalian kalau aku dibilang pembangkang olehnya bahkan oleh orang tuaku? Aku tidak semudah itu diatur. Aku hanya akan melakukan apapun yang menurutku benar dan berhenti ketika aku merasa hal tersebut salah. Aku berfikir sendiri tanpa diperbudak olehnya, sama sekali.
“Loh bukannya dia sering menyakiti?” Oh tidak, dia sangat baik, tapi sangat menyebalkan. Sayangnya pembawaan tulisanku mulai sarkas sejak ada hal-hal menyakiti menggerogoti di awal pendekatan kami. Jadi perspektif saya lah yang membuat saya sakit hati. Saya juga kurang sabar sampai dia kadang memilih diam. Kami pernah berada di fase sama-sama sulit mengerti sama lain. Itu bukan kesalahan, itu hal wajar hingga akhirnya kami menemukan cara terbaik untuk menjaga hubungan ini. Sebucin apa saya memangnya? Pakai baju couple tidak karena dirasa “belum perlu”. Tapi simcard kami sama karena kalau beda cukup sulit untuk berhubungan saat hal-hal mendesak memerlukan lebih dari sekadar whatsapp atau sosial media lainnya. Saat dia mengganti nomor whatsapp-nya saya ikut mengganti nomor whasapp saya. Kenapa? Karena kita punya alasan yang sama, nomor tersebut sudah tidak bisa digunakan lagi, jadi lebih baik menggantinya dengan nomor telepon yang aktif. Itu hal masuk akal maka saya lakukan. Saya pernah berbuka puasa makan mie karena dia makan mie saja buka puasanya, terdengar bucin? Padahal hal sederhana saja untuk hal manis dilakukan, kami ldr, tidak bisa buka puasa bersama, bagaimana kalau saya mengikuti menu buka puasanya supaya bisa merasakan hadirnya? Agak lucu bagi saya. Tapi saya senang, lalu kenapa?
Perbudakan dalam cinta menurut perspektif saya sebagai orang yang punya pasangan ya bukan dengan melakukan hal yang membuat sama-sama senang, tapi memaksakan kehendak yang hanya membuat salah satunya saja senang. Seperti memakai baju couple, kalau dia tidak senang, untuk apa dilakukan? Ini perbudakan. Pentingnya komitmen supaya memahami privasi masing-masing itu perlu. Supaya kita paham batasan dan paham dimana letak perbudakan hubungan itu. Memaksa melakukan seks saja sudah bukan perbudakan lagi, tapi pelecehan seksual. Lalu bagaimana saya bisa dibilang budak cinta ketika yang saya lakukan membuat saya senang? Saya melakukan hal yang memang benar menurut saya, bukan semena-mena dituntut oleh pasangan untuk melakukan a b c d.
Oh iya, saya dilarang menggunakan make up oleh pasangan, saya menolak, tapi pernah melihat saya menggunakan make up ketika bersama dia? Cukup jarang. Apalagi kalau saya berada di Padang, disana itu sangat panas. Saya biasanya tidak menggunakan make up karena saya yang gampang gerah membuat make up juga cepat luntur karena keringat. Tapi saya tetap menggunakan maskara dan lipcream, kalau sempat saya gunakan pensil alis. Paling penting adalah skincare yang terus saya gunakan dan tidak dilarang olehnya. Masa dilarang? Toh ini untuk diri saya sendiri. Saya dilarang belanja yang tidak perlu, karena dia tahu beberapa tidak saya gunakan, tapi kalau saya suka, saya akan tetap membelinya. Saya paham kapan harus membeli kapan tidak, saya bertanya saat ingin belanja bukan karena saya akan menuruti kata-katanya, tapi karena saya sangat pelupa dan kalap sudah punya atau belum barang yang ingin saya beli, dia hadir untuk mengingatkan. Sebatas itu.
Kami pernah memegang akun sosial media masing-masing, sampai akhirnya kita sering ribut karena masalah sosial media yang harusnya tidak diributkan. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak menggunakan akun sosial media pasangan lagi, supaya hubungan kami bukan tentang sosial media lagi. Masih banyak lagi hal lainnya yang intinya ialah jika hal yang dilakukan itu menyenangkan, bisa membuat masing-masing kita nyaman, ya lakukan, jika tidak ya katakan. Untuk apa diperbudak dalam hubungan? Memangnya yang punya hubungan dia saja atau kamu saja? Memaksakan kehendak itu bukan sesuatu yang manis, tapi perbudakan atas nama cinta yang sebenarnya merugikan, racun. Akan sangat baik untuk diperbaiki jika masih bisa, jika tidak maka melangkahlah pergi.
Dunia ini terlalu kalut jika kita hanya memikirkan perasaan bahagia orang lain tanpa memikirkan perasaan bahagia diri sendiri. Jangan jadi budak kebahagiaan orang lain, kesengsaraanmu tidak akan membuatnya berhenti memperbudak kamu.
Bekasi, 14 Mei 2020
Komentar
Posting Komentar