Pengumpat

Bukankah kamu mengetahui deritanya? Kamu menjadi orang yang lebih paham tentangnya. Tapi kamu tega merampas tenangnya dengan menceritakan semua bahagiamu, semua cerita bahagia yang kemewahan hidup yang ia miliki saja tidak. 

Bahkan ketulusan hati lain yang tak ia miliki pun kau pamerkan tepat di depan wajahnya. Hatimu kemana? Empatimu dimana? Cukup sudah kamu menceritakan tentang kemanusiaan, sungguh tidak nampak sama sekali jika itu dengannya, bukan?


Kamu merasa paling paham tentang kemanusiaan dan hak itu sendiri, tapi tak kamu pedulikan hati yang mati-matian menahan duka sebab kerjanya tak dimiliki, cinta yang tulus tak pernah didapati, orang paling mengerti tak diraih, bahkan harta berlimpah yang kamu ceritakan tak pernah ia rasakan. 

Kamu fikir ia satu level denganmu yang sudah amat luar biasa. Sungguh tidak, yang kamu ceritakan adalah membuatnya makin tersadar bahwa ia menderita, bahwa ia tak punya apa-apa, bahwa ia tak bahagia, bahwa ia tak disayangi siapapun bahkan penciptanya hanya karena ketidakadilan yang nampak persis di depan wajahnya yang seperti dilempar kotoran itu. Tegakah kamu?

Kamu menampakkan derita yang mati-matian ia rebut dari pandangan supaya tak nampak ia begitu malang, nasibnya yang nestapa sejak lahir kau bandingkan dengan hidupmu yang sudah tergantikan harta yang bahkan tak pernah ia rasakan hidup dalam gelimangan itu. Bisakah kau syukuri saja semuanya? Sebab ia pun berusaha untuk itu.

Ia tak ingin menjadi manusia yang merasa paling menderita, ia menyadari ada banyak rasa syukur yang ia miliki, bisakah kau lakukan saja tanpa memamerkannya pada manusia yang kamu sadari tak miliki semua yang kau keluhkan itu. Apalagi yang harus ia sadarkan dalam hidup? Ia tak butuh motivasi busuk itu kan? Ia makin jatuh kan? Ia makin hancur kan?

Apa kamu ucapkan membangun dirinya? Tidak, sama sekali tidak. Ia makin merasa hidupnya tak pantas diperjuangkan sebab merasa makin hina. Itukah maumu? Menjadikannya sadar bahwa ia begitu hina, begitu tak pantas hidup tenang, begitu sadar bahwa ia lebih menderita darimu.

Kamu tahu sedang membunuh seseorang? Kata-katamu tak pernah lepas dari fikirannya, melekat dan pekat memenuhi otaknya yang merancang ribuan cara kematian yang katamu biasa saja, memangnya siapa juga yang mau dibilang kematiannya istimewa? Rancangan ini tak seindah ingin mati khusnul khotimah, maka mengapa ia harus merencakan penderitaan yang lebih parah lagi dengan bujukanmu memberitahunya penderitaan yang lebih pelik lagi. 

Kamu inginkan dia melakukan apa yang kau bilang sebagai “rencana” mu? Kejam sekali. Adakah lagi seseorang yang layak ia percayai? Rasanya tidak, ia sudah sangat kalut, hidupnya sudah sangat hancur. Kau tambah lagi dengan semua bayangan suara yang melekat pada telinganya. 

Tunggulah kabar kematiannya yang mungkin ada dalam rencana yang pernah kamu bisikan padanya. Terima kasih sudah membuatnya makin kalut dan hancur menghadapi kenyataan bahwa orang lain sudah sangat bahagia tapi ia tidak. Menghadapi nyata bahwa orang lain sanggup berfikir dalam semua keadaan tapi ia tidak. Ia tidak untuk banyak hal. Menderitalah ia. Sengsaralah ia. Kau berhasil.

Kau berhasil mengukir hidupnya tak ada bahagia dan ketulusan. Kau berhasil membuatnya yakin bahwa ia terlalu mengharapkan langit yang jauh dari bumi, bahwa ia hidup sangat sia-sia sebab depan matanya ia saksikan hidupmu yang penuh kebahagiaan dan banyak harapnya ada disana tapi terkubur rapi sebab kamu bunuh.

Mei 2020.

Komentar

Postingan Populer