Bukan Wejangan: Berkarya Tapi Dicela
Aku pernah menulis buku yang diterbitkan, berisi puisi-puisi yang selama ini hanya tertata rapi di buku diary, halaman belakang buku catatan, atau di ponsel dan laptop.
Kalian percaya bahwa aku dihina karena “hanya mampu” menulis buku berisi puisi-puisi saja? Pertemanan di negeri ini sangat kejam, aku runtuh berulang kali dan mencemaskan karyaku yang tidak diterima, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku tidak melakukan kesalahan, jadi aku harus berhenti ketakutan.
“Cuma nulis buku puisi aja bangga” “Yaelah isinya cuma puisi doang” “Jelek banget bukunya” hmm, oke baiklah. Kata-kata kalian tersimpan rapi dalam ingatanku bahkan siapa yang mengatakannya, tapi tahukah kalian? Buku kalian sebut buruk dan cuma-cuma itu telah diunggah oleh Mamahku dengan sangat bangga bahwa anaknya bisa menulis, karya itu telah membuat Mamahku bertanya “kenapa dulu tidak kuliah sastra kalau suka menulis?” Disana aku melihat betapa orang tuaku sangat menyukai apa yang aku lakukan, aku diminta belajar lebih giat.
Maka terbitlah buku kedua dengan tulisan berisi hantaman luar biasa, karyaku tidak selemah lembut di buku sebelumnya. Sangat banyak kekejian nampak dalam ujaran rindu yang ku tulis, tidak sekadar jarak dan waktu yang rumit, tapi hati, keadaan. Banyak hal diungkap dengan kemarahan yang dapat dimaknai para pembaca. Bagaimana aku tahu? Sebab buku itu pernah dibedah oleh penerbit yang sangat aku sayangi, Langgam Pustaka di Tasikmalaya.
Tapi para bedebah yang menghinaku berhasil, aku tidak mempromosikan sama sekali buku itu, sepertinya tidak diperjual-belikan. Aku mencetak buku itu dan diberikan pada orang-orang yang aku janjikan akan ku berikan. Aku ragu bahwa karyaku hari itu tidak menarik dan hanya jadi bahan cemoohan lagi. Tapi aku sangat bangga dengan diriku yang sanggup menelan semua serapah para lidah kotor itu.
Aku akan menulis buku lagi, kali ini aku sangat ingin mempromosikannya, harus. Aku tidak ingin berhenti hanya karena cacian itu datang merendahkanku. Bukankah aku sanggup menahannya dibanding mereka yang tidak melakukan apapun. Baiklah mereka hebat pada bidangnya, tapi bukankah aku pun hebat dalam bidangku? Bisakah mereka menulis puisi dalam satu tema di satu judul buku? Aku bisa. Hidup bukanlah untuk perbandingan antara satu orang dan orang lainnya. Hidup adalah tentang perbandingan antara diriku hari ini dengan hari kemarin, sudah lebih baik atau belum, apa yang kurang, seperti itu lah.
Kita selalu brengsek di cerita orang, untuk apa berlebihan menganggap cemoohan itu seperti bangkai yang ditutup rapi supaya tidak bau? Biarkan menguap, terima dan melangkahlah, lawan segala hal yang menjatuhkan itu. Kita selalu hebat untuk diri kita sendiri. Kita punya derajat yang sama di hadapan Tuhan. Tuluslah berkarya, jangan berhenti. Istirahat jika lelah, lanjutkan lagi.
Bekasi, 16 Mei 2020
Iftihal Muslim Rahman
Komentar
Posting Komentar