Biuku
Oleh: Iftihal Muslim Rahman
Kita belajar untuk tidak peduli sama sekali lagi. Entah kenapa. Apakah kau sedang mempersiapkan perpisahan? Kalau kau tanya aku, jawabannya adalah aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Betapa usahaku telah melampaui batas sejauh ini untuk mempertahankan kita.
Aku mengais minta kau pahami, minta hadirmu, minta apapun yang tetap membuatmu merasa masih memiliki aku. Tapi bukankah aku gagal? Kau memaki marahku yang itu-itu saja. Lalu aku harus apa selain mencoba pahami maumu? Meski menyakitiku, membuatmu bahagia adalah impianku.
Aku telah memotong sayapku supaya tetap berkuda denganmu kemanapun kau ingin. Aku tak ingin terbang itu bukan dengamu. Tapi kau sembunyikan sayapmu, kita sama-sama sanggup terbang ternyata, tapi kau tak ingin bersamaku. Bukankah mengejutkan mengetahuinya? Apakah salah aku memilih diam?
Aku tak akan mempersiapkan kehilangan, aku akan mengikutimu. Nahas yang ku anggap berjuang ini akan abadi sebagai tanda bertahan dengan cara lain. Aku tak akan mengais kita, aku membiarkan tanganmu memilih sendiri genggamannya. Meskipun aku yakin bukan aku yang akan kau pilih, tapi setidaknya aku pernah mempersilakanmu mendekap tubuh yang sangat mencintaimu.
Aku sudah handal urusan hancur, kehilanganmu artinya aku kehilangan percaya, aku kehilangan masa depan yang telah ku rancang untuk saling berbagi rasa, apalagi ketenangan. Purnama tak lagi jadi hari bahagia untuk kita, tanggal-tanggal yang aku bahagiakan tak pernah begitu elok bagimu, semua fana saja, sama saja dengan hari lainnya dan kau tak peduli tentangku. Tidak, tidak!
Jangan bilang kau peduli tentang kebahagiaanku, kau tak pernah melakukan itu, sungguh, kau hanya peduli ketenangan dan kepedulianmu. Kau benar, kau selalu menyakitiku, apapun yang membuatku bahagia adalah rancanganku sendiri yang ingin kau melakukannya, kau tak pernah melakulan apa-apa.
Kawanmu berkata bukan, betapa sulit aku untuk ditinggalkan? Katamu itu canda, tapi kau bohong. Kau mengungkapkan beberapa hari setelahnya bahwa kau selalu menyakitimu tapi aku saja yang terlalu menyayangimu, hingga semuanya biasa, semua sakitku adalah kesalahanku dan bukan salahmu, semua duka ini adalah hal biasa. Terkutukkah cintaku? Tuhan membenci cinta yang ku beri pada manusia lainkah? Selalu begini, Kasih.
Maka yang ku tahui jika kau pergi ialah, aku menyerah. Sudah ku ungkap bahwa aku tak akan memberikan yang terbaik yang ku bisa dan ku miliki untuk orang lain, hanya untukmu, ingatkah? Itulah yang terjadi. Kau yang terlalu ku percayai, meski kau tak pernah membuka selehai benangpun dari yang kau gunakan. Aku terlalu menelanjangi diri padamu yang tak mempercayaiku sebegitunya.
Pelukis dendam menyayangkan aku yang begitu mencintaimu, aku tak akan pernah melakukan apapun, aku hanya akan terus mencintaimu meski rasa cintamu entah berakhir pada senjakala yang mana. Badai menyerang sukmaku yang sedang menggerogoti kenangan dengamu, aku melihat kita yang akan hidup bahagia dan punya masa depan meski kau bunuh semua harapan itu.
Aku entah kau sebut apa, aku entah kau anggap apa, aku entah siapa. Apa itu cinta? Apa itu kita? Apa itu hubungan? Apa yang kita lalui? Apa yang terjadi? Kita tersayat. Kita menyayat. Kau siapkan perangaimu, ku siapkan kematianku, aku menyerah.
Mei, 2020
Kita belajar untuk tidak peduli sama sekali lagi. Entah kenapa. Apakah kau sedang mempersiapkan perpisahan? Kalau kau tanya aku, jawabannya adalah aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Betapa usahaku telah melampaui batas sejauh ini untuk mempertahankan kita.
Aku mengais minta kau pahami, minta hadirmu, minta apapun yang tetap membuatmu merasa masih memiliki aku. Tapi bukankah aku gagal? Kau memaki marahku yang itu-itu saja. Lalu aku harus apa selain mencoba pahami maumu? Meski menyakitiku, membuatmu bahagia adalah impianku.
Aku telah memotong sayapku supaya tetap berkuda denganmu kemanapun kau ingin. Aku tak ingin terbang itu bukan dengamu. Tapi kau sembunyikan sayapmu, kita sama-sama sanggup terbang ternyata, tapi kau tak ingin bersamaku. Bukankah mengejutkan mengetahuinya? Apakah salah aku memilih diam?
Aku tak akan mempersiapkan kehilangan, aku akan mengikutimu. Nahas yang ku anggap berjuang ini akan abadi sebagai tanda bertahan dengan cara lain. Aku tak akan mengais kita, aku membiarkan tanganmu memilih sendiri genggamannya. Meskipun aku yakin bukan aku yang akan kau pilih, tapi setidaknya aku pernah mempersilakanmu mendekap tubuh yang sangat mencintaimu.
Aku sudah handal urusan hancur, kehilanganmu artinya aku kehilangan percaya, aku kehilangan masa depan yang telah ku rancang untuk saling berbagi rasa, apalagi ketenangan. Purnama tak lagi jadi hari bahagia untuk kita, tanggal-tanggal yang aku bahagiakan tak pernah begitu elok bagimu, semua fana saja, sama saja dengan hari lainnya dan kau tak peduli tentangku. Tidak, tidak!
Jangan bilang kau peduli tentang kebahagiaanku, kau tak pernah melakukan itu, sungguh, kau hanya peduli ketenangan dan kepedulianmu. Kau benar, kau selalu menyakitiku, apapun yang membuatku bahagia adalah rancanganku sendiri yang ingin kau melakukannya, kau tak pernah melakulan apa-apa.
Kawanmu berkata bukan, betapa sulit aku untuk ditinggalkan? Katamu itu canda, tapi kau bohong. Kau mengungkapkan beberapa hari setelahnya bahwa kau selalu menyakitimu tapi aku saja yang terlalu menyayangimu, hingga semuanya biasa, semua sakitku adalah kesalahanku dan bukan salahmu, semua duka ini adalah hal biasa. Terkutukkah cintaku? Tuhan membenci cinta yang ku beri pada manusia lainkah? Selalu begini, Kasih.
Maka yang ku tahui jika kau pergi ialah, aku menyerah. Sudah ku ungkap bahwa aku tak akan memberikan yang terbaik yang ku bisa dan ku miliki untuk orang lain, hanya untukmu, ingatkah? Itulah yang terjadi. Kau yang terlalu ku percayai, meski kau tak pernah membuka selehai benangpun dari yang kau gunakan. Aku terlalu menelanjangi diri padamu yang tak mempercayaiku sebegitunya.
Pelukis dendam menyayangkan aku yang begitu mencintaimu, aku tak akan pernah melakukan apapun, aku hanya akan terus mencintaimu meski rasa cintamu entah berakhir pada senjakala yang mana. Badai menyerang sukmaku yang sedang menggerogoti kenangan dengamu, aku melihat kita yang akan hidup bahagia dan punya masa depan meski kau bunuh semua harapan itu.
Aku entah kau sebut apa, aku entah kau anggap apa, aku entah siapa. Apa itu cinta? Apa itu kita? Apa itu hubungan? Apa yang kita lalui? Apa yang terjadi? Kita tersayat. Kita menyayat. Kau siapkan perangaimu, ku siapkan kematianku, aku menyerah.
Mei, 2020
Komentar
Posting Komentar