Kupu-Kupu

Pagi berembun, langit sedang menyederhanakan sebuah rasa syukur. Tuhan mengirim banyak cara kepada aku yang terus tersungkur minta diberi jalan. Jangan lagi ada amarah dalam hatiku, jangan lagi ada umpatan atas segala kejadian, sabarlan dan tabahkan. Berulang kali aku gagal, berulang kali aku kembali mencoba.

Betapa sangat aku haturkan rasa terimakasih pada banyak hati yang melunakan perasaanku, yang selalu saja salah paham mengungkapkan kecewa, yang selalu saja salah memberi kata untuk kesedihan. Orang-orang baik yang telah memahami caranya menghadapi aku, yang dengan lembut dan penuh kasih sayang memperhatikan bahwa orang-orang sepertiku akan melawan kala diperlakukan sebagai tawanan, bukan sebagai kawan.

Bukankah sudah ku lewati hari-hari penuh kutukan? Dimana umpatan, pukulan dan banyak hinaan dilempar langsung di muka. Maka kelembutan kalian adalah tangan Tuhan yang merangkul daku supaya sembuh segala penyakit hati. 

Aku adalah meriam yang selalu meledak tiap telempar, marah marah dan marah hanya marah. Aku mengutuk semua kebiadaban dengan benci. 

Aku adalah bom atom yang selalu memendam kemudian menghancurkan sekitarnya beserta dirinya. Aku mengacaukan segala upaya perubahan keadaan.

Aku adalah bumerang yang terus terpontang-panting meluka dan terluka, mengasing dan terasing. Aku biarkan kesedihanku melarutkan segala bahagia di hati-hati lainnya.

Bukankah aku sudah sangat kejam? Lalu aku tak bisa mengatur semuanya bahkan untuk berkurang sama sekali. Sampai ku pahami aku telah mencapai satu titik, usaha yang melelahkan, maka tersungkurlah aku dalam sujud, aku minta hati ini melunak, seiring redupnya cahaya di pandanganku.

Kuliah, aku mulai kuliah. Maka merantaulah aku pergi jauh dari rumah, aku akan lebih tenang jauh dari segala hal, aku yang sangat pemarah merasa beruntung jauh dari keadaan pelik.

Lalu hadirlah orang-orang jahat yang mengacaukan duniaku. Dan aku sadari betapa rumah adalah tempat terbaik untuk pulang, melunak aku, benciku pudar pada seisi rumah, aku mencintainya dan ingin semuanya segera berakhir, perjalanan jauh ini. Aku sayang keluargaku, jadilah aku yang menyayangi mereka setelah waktu panjang ku habiskan untuk membenci mereka.

Waktu dimulai, seseorang memberi pesan sangat penting, namanya Bella. Aku memanggilnya “Teh Bella”, kakak tak sedarah tapi satu atap di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Siliwangi. Aku yang sangat murung dan penakut menunjukkan diriku mulai merekah. “Jadilah bintang dimanapun kalian berada, bersinarlah” kata Bella. Maka itulah pesanku untuk banyak hati yang kujumpai dalam banyak kesempatan. Supaya tidak ada yang memendam dirinya, supaya semuanya berani untuk tampil, supaya semua berusaha menjadi yang terbaik untuk dirinya sendiri, jadi versi terbaik untuk dirinya.

Langkahku mulai penuh dengan kesombongan, aku yang sudah mulai lunak dan mudah menangis, menjadi ahli mengumpat. Aku tahu ini salah dan membenci diriku. Aku tidak paham bagaimana cara untuk berhenti dari segala penyakit hati ini. Sampai seseorang bernama Maman Suherman diundang dalam kegiatan yang diadakan oleh Pers Mahasiswa, organisasi yang aku ikuti.

Entah, aku yang tak pernah tertarik membeli sesuatu dalam bazar di kegiatan kampus, mendadak ada dalam kesempitan yang memaksaku untuk membeli buku dari seseorang yang akrab disapa Kang Maman itu. Saat meminta tanda tangan, ia menuliskan “Iftihal, Jadilah Nur Cahaya” dan dipendam buku itu bertahun lamanya.

Akhirnya aku kalut dalam keadaan, aku mulai jadi pembenci dan pengumpat yang ulung. Dan terbesit untuk membaca buku yang beberapa tahun lalu ku beli atas keterpaksaan. Tuhan menjawab pintaku yang tertulis di langit itu. Aku menangis berkali-kali. Hatiku kembali melunak, aku mulai tabah, aku benar-benar banyak belajar untuk memahami keadaan. Bukankah yang punya hati bukan cuma aku? Maka berbaik hatinya, supaya tenang.

Tapi cobaan tetap hadir, menyelimuti segala masalah lengkap dengan keluhan dan juga amarah kebencian, umpatan adalah makanan sehari-hari lagi. Datanglah seorang kawan, Jenna namanya. Puan itu memberitahuku bahwa sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. Maka berlindunglah aku dari banyak masalah dengan meyakini Allah akan menyertaiku, aku harus sabar dan melewatinya saja. 

Aku mulai jenuh, sangat merasa jenuh. Aku jenuh dengan kehidupan yang diisi kesengsaraan. Puan bernama Ghya dan Yuan yang mengajariku caranya bersenang-senang dan cara untuk menjadi baik dalam waktu yang sama. Harus jadi perempuan kuat pula, sebab di balik jeruji penderitaan ini, akan ada saat dimana semua kebahagiaan hadir dalam satu waktu. Aku benar-benar belajar.

Sampailah pada seorang Tuan bernama Ganti yang kini lebih suka ku sebut Mput atau Sayang. Kekasihku. Pujaan hatiku. Lelaki yang membuatku jadi perempuan paling berarti di atas semua masa lalu yang memilukan. Segala hal jadi pelajaran berharga, hatiku dibuat sabar dan tabah untuk segala hal. Bersyukur adalah yang patut dilakukan setiap harinya. 

Aku sangat berterimakasih pada Tuhan sebab memberiku seseorang sepertinya, di balik kekurangannya, ia tetap yang terbaik. Kesedihan tetaplah cobaan. Kebahagiaan tetaplah ujian. Cinta tetap saja anugerah. Maafkan jika takut kehilangan selalu menyertaiku, aku menjadi lebih menyebalkan jika membayangkan kesakitan yang mungkin atau sedang terjadi. Moga ikhlas tiap jiwa yang memberi pelajaran hidup, keberkahan semoga ada untuk kalian. Jangan gugur, tetaplah merekah meski akan layu, hiduplah.

Bekasi, 6 Mei 2020

Komentar

Postingan Populer