Bedebah

Oleh: Iftihal Muslim Rahman

Riuh pelik hari ke hari bersama pandemi yang tak kunjung sudah, kabar kematian dimana-mana bersama respresi yang tak sudah-sudah.

Ada yang tak tenang hidup untuk perut sendiri dan keluarga di rumah, ada yang tak tenang selepas hatinya tak kunjung diamplas dari pahatan yang karam, ada yang tak tenang menanti keadilan penguasa, ada yang tak tenang di balik jeruji penjara, ada yang tak tenang, ada, ada dan banyak.

Entah pada hari apa lagi selesai duka-duka menjadi pecah, tapi jangan dilihat remeh temeh apa yang orang lain cemaskan, bukankah melihatmu cemas, mereka begitu paham?

Tak ada harta, ada cinta. Tak ada cinta, ada harta. Tak ada cinta, tak ada harta, ada nyawa yang masih melekat di raga yang masih diizinkan mempersiapkan kematiannya dengan baik.

Bukankah setiap jiwa dilarang tidak baik-baik saja? Dilarang untuk tidak bersyukur. Dilarang berhenti memikirkan apapun. Betapa kejam alam liar yang berpanggung penuh sandiwara. Maka tetaplah kuat dan tangguh di medan perang.

Kali ini ku suarakan jeritan hati yang tak bisa lepas bertahun-tahun silam, “berhenti menyuruhku untuk bersyukur dan memandang segalanya dalam suatu hal yang baik ketika aku tidak melihat kebaikan sama sekali, berhenti menyuruhku baik-baik saja saat aku merasakan baik atau tidak saja tak bisa, berhenti menjadi yang paling beriman dan berceramah kala aku sedang meringis dengan takdirku. Aku begitu paham tentang hidupku, jika tidak bisa menjadi pendengar, pergilah, jangan paksa aku melawan diriku dengan melihat pandanganmu yang melihat pandanganku saja tak bisa”, terkejutkah? Atau tak peduli sama sekali? Ku harap kau pahami dan lekas pergi jika tak bisa menerimaku, aku tak butuh belas kasihan, Bangsat!

Tenang, aku selalu tenang. Baik, aku selalu baik-baik saja. Redam, aku selalu meredam amarahku. Syukur, aku selalu merasa bersyukur. Keluh, aku selalu punya cara untuk menenangkan keluhku sendiri. Fikir, aku selalu berfikir apalagi tentang keresahan yang tak sudah-sudah.

Bertemanku dengan asa. Berkawanku dengan luka. Bersahabatku dengan tangis. Aku tak pernah benar-benar sendirian. Kosong bukan hal asing bagiku. Serapah semua nasehat pada duka-duka yang telah memahami muaranya. Persetan!

Bekasi, 27 April 2020

Komentar

Postingan Populer