Stigma Budak Cinta

Oleh: Iftihal Muslim Rahman

Dulu, banyak orang bilang aku adalah perempuan yang sangat “budak cinta” alias bucin. Aku agak tersedak awalnya, sampai waktu berlalu, dan aku terbiasa. Aku tidak merasa malu sebab yang ku lakukan seperti tidak begitu salah dibanding harus mati rasa dan berpura-pura di depan publik.

Pernah juga ada seorang laki-laki berkata, bahwa di otak aku tidak ada hal lain yang dipikirkan selain cinta. Aku dibenci karena mencintai dan saat itu dinilai terlalu memikirkan urusan cinta. 

Kemudian aku melangkah, mencari dunia yang dapat menerimaku, menanggalkan banyak orang, beberapa akan terasing saat bersamaku. Aku hanya berusaha menyelamatkan diri sendiri dari pengaruh buruk yang membuatku hancur, aku butuh didukung untuk menjadi “seseorang”. 

Lalu aku membuktikan, perempuan yang mendapat stigma bucin ini, telah menuliskan buku pertamanya yang bercerita tentang rasa cintanya kepada seseorang, kepada tanah air, hingga pada hal abstrak. Tahun berikutnya aku kembali menulis buku keduaku, bercerita tentang rindu dan kisah yang dimaknai begitu banyak rasa. Buku yang ditulis berdua antara aku dan kekasihku, Ganti Putra Wardana. Sangat bucin? Bucinku menghasilkan karya, bukan? 

Mereka bilang aku bucin, aku lihat mereka banyak membuang waktu untuk terus menguras tenaganya menghinaku. Kenapa menghina? Karena stigma yang mereka berikan bernada negatif. Mereka jauh dari kata memanfaatkan waktu. Kemana saja mereka saat aku menulis naskah? Menghinaku? Menghina orang lain?

Ah, sungguh. Lakukanlah hal-hal menyenangkan yang kalian sukai. Atau menghina adalah kesukaan kalian? Lakukan yang lebih bermanfaat kalau begitu, selain memuaskan hasrat negatif semata. Lakukan hal-hal positif yang membuat kalian menjadi cahaya terang bagi peradaban.

Aku memilih menulis ini supaya aku mengabadikan ceritanya, cerita bahwa sebuah hinaan akan menghasilkan hal hebat saat didampaki positif, iya positif. Aku memilih menjadikan hinaan itu sebagai cambuk untuk terus menerima diriku sendiri dan menjadi cahaya untuk orang lain, aku jadikan pelajaran sehingga menolak untuk melakukan hal yang mereka lakukan kepada orang lain lagi. Aku tidak ingin jadi mereka sebenarnya. Aku ingin menjadi cahaya, menjadi bintang, menjadi kenangan baik bagi siapapun yang mengenalku.

Tenang saja, aku akan terus belajar berhenti menghargai diriku pada orang lain setinggi langit supaya tidak terus terluka dengan stigma diriku tidak dihargai. Aku akan terus belajar menghargai diriku sendiri, memberi nilai untuk diriku sendiri, mencintai diriku sendiri.

Bekasi, 27 April 2020

Komentar

Postingan Populer