Aku Benci Pergi, Mah
Ada luka setiap kali pergi melangkah jauh dari rumah. Malam ini aku diperkosa jarak untuk menempuh segala keinginanku. Berusaha menikmati perjalanan yang sangatlah aku benci. Sering kali ada air mata tiap mengingat bagaimana laki-laki yang membesarkanku memohon untuk tetap tinggal di ibu kota Indonesia daripada merantau jauh sekalipun masih berada dalam satu pulau, waktu yang ditempuh pun hanya sebatas 8-11 jam.
Aku belajar memahami luka mereka, dengan aku ikut terluka. Semua rasa kembali pada awal mula aku berpijak di tanah sunda itu. Sering ku berangan kembali pada saat laki-laki itu memohon untuk aku tinggal. Miris. Aku ingin menerimanya. Namun terlalu canggung karena tak ingin lemah dengan melepaskan mahasiswi di kampus negeri dengan mahasiswi di kampus swasta. Padahal, di kampus swasta lebih terkenal dan mempunyai akreditasi yang lebih baik. Aku ingin mencoba tinggal sendirian. Perlahan ku jejaki dunia ini sendirian. Iya, aku selalu merasa sendirian, bahkan saat ramai. Tak terkekang, bebas, aku seperti burung yang lepas dari sangkarnya. Hingga akhirnya ku sadari, aku tak bisa tanpa mereka. Meskipun pada akhirnya aku akan beranjak dari rumah tuk menempuh hidup baru dalam pernikahan.
Luka dari kedua orang tuaku kini merasuki dunia ku, perlahan menghancurkan, seperti percikan api yang melahap begitu kejam bahagia ku. Satu persatu kesakitan hadir, diiringi dunia baru yang lebih jahat dari yang pernah ku lalui. Terampas habis semua, hidupku penuh caci maki dan semakin, hina. Aku selalu ingin pulang, namun enggan terlihat lemah. Aku selalu bercerita akan hal yang sering membuat mereka bangga, tanpa mereka sadari, aku kesakitan menarik setiap bahagia yang berusaha direnggut banyak orang di tanah asing ini.
Aku ingin pulang lebih cepat, semangatku begitu membara saat menunjukkan pada mereka bahwa aku baik-baik saja. Seandainya mereka paham, aku hanya enggan membuat suasana memanas dan mengkhawatirkan mereka. Egositas meningkat, aku ingin tenang dengan caraku. Semua orang yang mengetahui bagaimana aku di sini, hanya menggelengkan kepalanya, meracau, bagaimana bisa aku tetap hidup dalam dunia kejam ini. Orang di luaran sana perlu tahu, yang aku alami mungkin hanya kerdil bagi mereka yang mengalami hari berat dibanding aku. Itulah mengapa aku enggan terlihat lemah, meskipun aku tak sungkan untuk mengeluh, karena aku manusia biasa.
Aku benci ada dalam bis ini, yang seperti mengantarku pada neraka. Aku benci menyamankan diriku sendiri. Padahal aku tahu, aku akan selalu gagal dan akan tetap kesakitan. Berada di tanah itu membawaku pada masa-masa terkelam yang enggan ku bagi dengan dunia, mungkin bukan sekarang waktu yang tepat, tapi percayalah, aku gagal untuk bahagia. Mamah, Papah, aku benci untuk pergi. Aku selalu ingin pulang. Aku ingin segera skripsi dan di wisuda hingga aku bisa pulang tanpa kembali ke tempat kelam di mana banyak kenangan pahit tercipta.
Manis kenangan yang ada hanyalah rintihan kebohongan yang ku bagi pada dunia.
Rabu, 8 Februari 2017
23.28 WIB
karawang, Jawa Barat
Iftihal Muslim Rahman
Komentar
Posting Komentar