Sejuk Angin di Tanah Tandus
Aku sudah terbiasa menimba girang sendirian, meskipun yang ku yakini, bahagia adalah tentang memberi dan mengasihi. Itulah mengapa aku gemar memberi, senyum orang lain adalah senyumku di setiap kebaikan yang terbentuk pasti ada bahagia.
Tapi, bagaimana bisa hati lain merasa kosong menyaksikan luka yang mereka buat? Bahkan merasa lebih terluka saat melukai. Aku belum benar-benar paham. Sungguh.
Ku rakit perahu yang akan menyaksikan perjuanganku dalam derai air mata. Mereka hanya boleh mengetahui kesedihanku, betapa aku berduka dan benar-benar melarat.
Tapi hidup? Harus tetap dijalankan.
Mereka tak boleh melihat betapa kematianku diambang oleh segala harap berhentinya kesedihan yang lahir bahkan sejak nadi berdetak.
Mereka tak boleh meratapi aku yang putus asa meraih segala bahagia sebab amarah yang tak sudah-sudah hingga aku besar sebagai wanita yang merasa senyuman adalah kelelahan, palsu, harus disulam tiap harinya, meratapinya pura-pura sangat menguras batinku.
Lagi, mereka tak boleh mendengar bagaimana aku terus mengerdil sebab kecewa adalah santapan siap saji di meja makan perasaanku, aku tak ingin terlihat hidup tanpa arah.
Kuatku bertahan entah untuk siapa. Segalanya adalah noda yang ingin aku bersihkan dan hidup sebatang kara melangkahkan kaki di atas pasir yang bermuara pada tenggelamnya tubuh yang selalu ketakutan ini.
Aku tahu, dalam setiap kehilangan akan menciptakan aku yang lebih hebat lagi. Semata-mata menyembunyikan duka yang makin merapat menutupi senang, aku sengaja menarik takdir untuk dilihat baik-baik saja.
Biar polisi moral itu berteriak “lantas apa lagi yang kurang, sedang bahagiamu telah paripurna?” Haha, sejak kapan bahagia itu ada dalam hidupku? Aku tak mengenalnya. Ia tewas tragis di hadapanku sedari ku pahami bahwa hidup terlalu rumit untuk berjuang, bahwa keadilan adalah mimpi yang samar.
Tenanglah, rapuhnya aku melindungi dosa yang lebih daripada seharusnya. Tak perlu ajari aku caranya bersyukur, aku sudah lebih paham untuk itu.
Juli 2020.
Tapi, bagaimana bisa hati lain merasa kosong menyaksikan luka yang mereka buat? Bahkan merasa lebih terluka saat melukai. Aku belum benar-benar paham. Sungguh.
Ku rakit perahu yang akan menyaksikan perjuanganku dalam derai air mata. Mereka hanya boleh mengetahui kesedihanku, betapa aku berduka dan benar-benar melarat.
Tapi hidup? Harus tetap dijalankan.
Mereka tak boleh melihat betapa kematianku diambang oleh segala harap berhentinya kesedihan yang lahir bahkan sejak nadi berdetak.
Mereka tak boleh meratapi aku yang putus asa meraih segala bahagia sebab amarah yang tak sudah-sudah hingga aku besar sebagai wanita yang merasa senyuman adalah kelelahan, palsu, harus disulam tiap harinya, meratapinya pura-pura sangat menguras batinku.
Lagi, mereka tak boleh mendengar bagaimana aku terus mengerdil sebab kecewa adalah santapan siap saji di meja makan perasaanku, aku tak ingin terlihat hidup tanpa arah.
Kuatku bertahan entah untuk siapa. Segalanya adalah noda yang ingin aku bersihkan dan hidup sebatang kara melangkahkan kaki di atas pasir yang bermuara pada tenggelamnya tubuh yang selalu ketakutan ini.
Aku tahu, dalam setiap kehilangan akan menciptakan aku yang lebih hebat lagi. Semata-mata menyembunyikan duka yang makin merapat menutupi senang, aku sengaja menarik takdir untuk dilihat baik-baik saja.
Biar polisi moral itu berteriak “lantas apa lagi yang kurang, sedang bahagiamu telah paripurna?” Haha, sejak kapan bahagia itu ada dalam hidupku? Aku tak mengenalnya. Ia tewas tragis di hadapanku sedari ku pahami bahwa hidup terlalu rumit untuk berjuang, bahwa keadilan adalah mimpi yang samar.
Tenanglah, rapuhnya aku melindungi dosa yang lebih daripada seharusnya. Tak perlu ajari aku caranya bersyukur, aku sudah lebih paham untuk itu.
Juli 2020.
Komentar
Posting Komentar