Langit Pekat Berwarna Duka
Bagaimana rasanya? Apakah begitu puas melihatku terkutuk atas mencintaimu? Wah, hebat sekali apa yang kau lakukan, harusnya merasa dicintai, justru aku merasa terpuruk sebab entah bagaimana caramu mencintaiku yang samar dan terlalu gamang.
Aku benci menyetujui bahwa jika benar-benar merasa dicintai, harusnya tak perlu bertanya-tanya apakah aku dicintai atau tidak. Pernahkah kau mepertanyakan perasaanku? Sepertinya tidak, aku terlalu menunjukkan sebesar apa cintaku yang sayangnya selalu kau lukai, selalu kau kecam dengan kejam, dan memberi rambu awas padaku. Mengerdillah aku dengan cinta ini.
Nahas atas derita yang tak sudah-sudah. Mengapa senang mengulang duka? Bahagiakah engkau dengan menyakitiku? Bisakah berhenti dan pilih untuk meninggalkanku, jika bagimu membahagiakanku adalah sebuah kesalahan dan tak perlu dilakukan?
Kau mengadu pada rasa yang tak pernah ku ketahui untuk siapa mengalir. Apakah bagimu pantas aku untuk terluka? Seperti tak pernah usai, masalahnya hanya kau enggan membuatku bahagia, bagimu bahagiamu adalah hal terpenting.
Tak pernah ada aku.
Sedangkan bagiku, membahagiakan orang-orang yang ku sayangi adalah kebahagiaan, kau terlalu dingin, Kasih.
Bagaimana caramu mencintai seseorang jika kau tak pernah menunjukkan perasaanmu?
Bagaimana caramu bahagia jika tak pernah kau membahagiakan mereka yang kau sayangi?
Bagaimana bisa kau utarakan cinta dan sayang itu setiap hari, jika tak pernah kau merapalnya dalam doa, tak pernah kau bahagiakan yang harusnya begitu sederhana saat kau sadari aku terlalu mencintaimu.
Sampahkah aku?
Jenuhkah engkau?
Jangan memilih bertahan jika cintamu sudah lusuh dan inginmu hidup bersama sudah rapuh.
Melangkahlah, sebab aku akan tetap hidup dalam kematian hati yang sudah kau bunuh.
Aku terlalu mahir untuk kehilangan, maka terima kasih akan aku ucapkan sebab kau ceritakan kembali bahwa aku memang tak pernah pantas dibahagiakan, tak pernah pantas dicintai, terlampau pantas untuk disakiti dan menerima segala jenis derita.
Bertabur di langit pekat dengan duka, aku.
Juli 2020
Aku benci menyetujui bahwa jika benar-benar merasa dicintai, harusnya tak perlu bertanya-tanya apakah aku dicintai atau tidak. Pernahkah kau mepertanyakan perasaanku? Sepertinya tidak, aku terlalu menunjukkan sebesar apa cintaku yang sayangnya selalu kau lukai, selalu kau kecam dengan kejam, dan memberi rambu awas padaku. Mengerdillah aku dengan cinta ini.
Nahas atas derita yang tak sudah-sudah. Mengapa senang mengulang duka? Bahagiakah engkau dengan menyakitiku? Bisakah berhenti dan pilih untuk meninggalkanku, jika bagimu membahagiakanku adalah sebuah kesalahan dan tak perlu dilakukan?
Kau mengadu pada rasa yang tak pernah ku ketahui untuk siapa mengalir. Apakah bagimu pantas aku untuk terluka? Seperti tak pernah usai, masalahnya hanya kau enggan membuatku bahagia, bagimu bahagiamu adalah hal terpenting.
Tak pernah ada aku.
Sedangkan bagiku, membahagiakan orang-orang yang ku sayangi adalah kebahagiaan, kau terlalu dingin, Kasih.
Bagaimana caramu mencintai seseorang jika kau tak pernah menunjukkan perasaanmu?
Bagaimana caramu bahagia jika tak pernah kau membahagiakan mereka yang kau sayangi?
Bagaimana bisa kau utarakan cinta dan sayang itu setiap hari, jika tak pernah kau merapalnya dalam doa, tak pernah kau bahagiakan yang harusnya begitu sederhana saat kau sadari aku terlalu mencintaimu.
Sampahkah aku?
Jenuhkah engkau?
Jangan memilih bertahan jika cintamu sudah lusuh dan inginmu hidup bersama sudah rapuh.
Melangkahlah, sebab aku akan tetap hidup dalam kematian hati yang sudah kau bunuh.
Aku terlalu mahir untuk kehilangan, maka terima kasih akan aku ucapkan sebab kau ceritakan kembali bahwa aku memang tak pernah pantas dibahagiakan, tak pernah pantas dicintai, terlampau pantas untuk disakiti dan menerima segala jenis derita.
Bertabur di langit pekat dengan duka, aku.
Juli 2020
Komentar
Posting Komentar