Bintang yang Kalah
Enta dimana keberadaanmu kala duka menyelimuti hari-hariku yang kian berantakan. Kau biarkan aku luluh lantah dalam ombak yang tak pernah surut, makin tinggi seolah inilah tempat berselancar terbaik. Ada apa?
Dimana engkau kala aku tengah berjuang?
Menyemangati?
Dari segi mana?
Dari segi menyakiti-kah?
Atau dari waktu-waktumu yang terlalu padat untuk diisi tentangku?
Tidak, kau tak pernah benar-benar hadir sebagai satu nama yang membuatku bangkit dari setiap juangku, adakah engkau?
Kala banyak mata menyudutkanku, kaulah satu-satunya pasang mata yang ku harap menenangkan, namun nyatanya hanya air mata yang ku tebus atas segala dekapan harap itu.
Aku selalu bangkit tanpa kehadiranmu.
Aku selalu menceritakan bagaimana perjalananku saat kau menimpaku dengan banyak kesakitan.
Sepaham itukah engkau bahwa aku terlalu kuat untuk menyusun getir, ambang yang tak tersentuh sanggup ku dekap dengan keringat dan buliran air yang menetes di pipi.
Hujan, gerimis, terik, aku berjuang tanpa ada percakapanmu di dalamnya.
Aku bahkan tak mau kau libatkan dalam juang yang sangat ku harap bisa ku dampingi dan menjadi penguatmu yang paling kokoh.
Namun kau melarangnya, seolah-olah itu harapan supaya engkau meletakkan aku kian dasar.
Tak pantas disentuh.
Maka aku menaiki rindang tinggi, berharap ku temui engkau tuk ditemani.
Meski hanya dengan kata selamat tanpa kehadiranku, tapi bagimu aku memang tak pernah ada apa-apanya.
Apakah begitu getir membaca tiap kata yang sulit kau pahami ini?
Akan sejauh apa lagi engkau menghardik ketulusan yang ku berikan?
Tidak, tidak ada penghianatan yang ku lihat, memang. Tapi hanya itu cara untukku membuatmu paham.
Membuatmu paham bahwa ada kesakitan yang terlalu deras atas dinginnya engkau, atas tembus pandangnya rasa cintamu sampai-sampai aku tak bisa mendekapnya.
Salahkah kosongnya tatapan mataku kala pelukan itu datang pertama kali diantara tubuh kita?
Aku masih sangat linglung memastikan apakah benar ini pria yang mencintaiku?
Kemana ia? Mengapa masih senang bermain jika paham bukan aku sasaran yang tepat?
Buruk ya? Tak seperti yang kau pikirkan bahwa kita akan terjun sedalam ini, kau tak benar-benar tahu meskipun ribuan kisah telah ku dongengkan.
Bukan aku yang kau cari jika masih bermain yang kau harapkan, aku bukan wanita kaya yang gemar bersenang-senang.
Aku hanya wanita yang berusaha berdiri tegak dengan apapun yang bisa menyembuhkan luka sedari lahirku yang selama ini kau tahui, tak pernah hilang dan tersembunyi amat dalam, namun kau ingkari tuk mengingat.
Aku hanya wanita yang siap maju paling depan untuk bahagia dan melukiskan semua dalam nyata, antara kau dan kau misalnya.
Kau lihat, bukan? Sekejam apa aku berjuang hanya untuk kita bahagia, meski di atas itu kau menginjakku sebagai buda yang tak bisa lepas dan siap untuk memenuhi perintah tuannya.
Aku bukan purnama kedua belasmu, bukan bunga mawar merahmu, bukan wanita yang kau sebut dalam doa supaya bisa bahagia bersamamu.
Maka aku berhenti menyebut namaku supaya Tuhan izinkan akhir bahagiaku adalah engkau, sebab berharap pada Tuhan untuk ini membuatku makin mengharapkan hamba-Nya yang masih andal mencari.
Aku ingin pedih ini tuntas, sebab tak wajar jika kau bilang belum ingin menyerah.
Perjuangan macam apa yang bisa membuatmu begitu lelah jika sehari pun waktumu hanya menunggu aku mengatakan pisah?
Jelaskanlah, Kasih.
Bukankah aku menjadi sangat keji menahanmu di sini tanpa kau ingini?
Kau burung yang ingin terbang bebas dari sangkar yang sudah sangat luas sendirian dan dikerumungi banyak lainnya, tanpaku.
Tak tahu apa lagi, yang ku tahui kau melangkah dan membenci adanya aku, kau mulai berhenti mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur.
Kau berhenti melihat wajahku pada ponsel itu.
Kau berhenti mengharapkan kehadiranku, sebab terlalu dingin hatimu menerima wanita yang sudah lama hanya menginginkanmu sebagai akhir kisahnya.
Sajak untukku kau tutup rapat, buku tentangku mulai kau sumbangkan, aku?
Aku mulai kau jadikan peradaban yang entah bertujuan apa untuk yang hatinya telah mati.
Juli 2020
Komentar
Posting Komentar