Peluh Meluruh
Apakah hidup akan jauh lebih buruk daripada hari ini jika aku melangkah pergi dari kehidupan semua orang, memulai hidup tanpa satupun orang ku kenali?
Bagaimana jadinya saat aku memulai lagi caranya mencari teman dan membuat keluarga sendiri? Atau haruskah aku sebatang kara tanpa apapun? Tapi hidup di hutan belantara terlalu menakutkan, bukan? Apa bedanya aku hidup sendirian dengan hidup “seperti” sendirian?
Tak aku pahami mengapa orang-orang menutup diri untuk menyembuhkan orang lain tanpa pamrih. Ataukah hanya kepadaku? Aku seperti hidup sebatang kara, memendam segala hal sendiri, hidup tanpa pendengar, hidup dengan larangan untuk bicara.
Duniaku seperti menata neraka sendiri. Berarti aku bisa, kan, menata surga untukku sendiri?
Menggurutu pun bagiku percuma sebab kepada siapa? Tuhan? Tuhan menjawab semua dengan kehendak-Nya, sedang aku benar-benar kesepian, ingin menceritakan sebuah pencapaianku pun rasanya tak punya arti.
Aku jadi rindu hidup sendirian di tanah rantau, benar-benar merindukan hari itu. Dimana kabar tentangku tak perlu ku ceritakan, cukup mengabari lewat pesan singkat, atau dilihat dari sosial media semata.
Aku kehilangan tempat bercerita, tak ada yang peduli denganku. Semua hanya memikirkan dirinya sendiri, atau yang lain namun bukan kepadaku. Aku sangat kerdil tak tersentuh dan tak diperhitungkan. Aku hanya penting jika semua membutuhkanku, aku dianggap ada jika aku akan disuruh entah untuk apapun itu. Apa bedanya aku dengan budak?
Tak ada yang peduli denganku jika itu tak penting bagi semua. Maka akan lebih baik bukan jika aku menghilang dari kehidupan semua orang. Mereka akan baik-baik saja tanpaku, sebab adanya aku hanya pelengkap yang tak penting, ada silakan, tak ada biarlah.
Aku adalah derita bagi semua orang. Aku sebatas dunia terbelakang yang hadirnya tak diinginkan. Menjadi aku adalah penyesalan untuk hidup. Aku lelah, aku benar-benar lelah dengan keadaan.
Sang ahli bilang, “kamu berhak” namun dia bisa apa? Sedang bahagiaku tak pernah nampak, derita tak pernah surut. Katanya lingkunganku racun, sedang yang nampak segala hal adalah yang diidamkan dan banyak kebaikan. Aku kah racun itu? Maka semuanya harus sembuh, bukan? Tanda tanyaku tak pernah berubah, masih banyak tak terjawab.
Sedari kecil tanganku merangkul pundaku sendirian, ku dekap segala duka sendirian, cermin memaksaku tersenyum sebab betapa kian buruknya aku tanpa lengkungan itu. Betapa tak pandainya aku atas kekelaman hatiku sendiri, sempat mati rasa tapi ku pasrahkan lagi, kemudian semuanya jadi menyiksa. Aku salahkan dunia yang memaksaku merasakan sakit yang katanya bisa menyembuhkanku, tetapi semuanya justru menyerangku kian hebat saat aku merasakan derita yang ku tumbuk sedari kecil yang harusnya tugasku hanya bermain.
Terus ku sulam kepiluan yang dibalut senyum itu, memangkas segala dendam demi menjadi aman tuk segala hati yang membutuhkan pagar kuatku. Aku tak bisa kembali baik-baik saja, izinkan aku benar-benar istirahat dari segala derita hati, aku dipenuhi amarah, kecewa adalah teman dekat hatiku. Miriskan aku sebagai manusia yang pantas menggenggam duka.
Aku bertaruh nyawa sejak awal soal cinta adalah kepahitan, betapa ku harus kebal dari segala badai serapah yang memanas di gurun yang kusebut rumah. Hancur lebih mudah dari bertahan membuatku keruh atas segala asa, aku percaya dan luntur membangun harap berulang kali. Aku memeluk ketakutan di ataa kasur dengan nyaman hingga terlelap. Romansa begitu seram namun tak hentinya ku coba lawan, “bisakah aku bertahan?”, dan aku tahui bahwa ku gagal entah hingga tak terhitung lagi.
Bertumbuh remaja dengan diri yang penuh kepura-puraan, topengku bertumpuk meski menyebalkan, aku benci kenyataan namun mimpi buruk tak henti membuatku harus sadar dan kembali melawan dunia. Ada yang mendarah namun luruh di perjalanan hingga aku dewasa, aku tak ingin mati namun tetap hidup seperti keputusan yang salah. Maka, jadilah aku di hari ini sebagai yang hidup dalam jeruji buatan sendiri.
Juni 2020
Bagaimana jadinya saat aku memulai lagi caranya mencari teman dan membuat keluarga sendiri? Atau haruskah aku sebatang kara tanpa apapun? Tapi hidup di hutan belantara terlalu menakutkan, bukan? Apa bedanya aku hidup sendirian dengan hidup “seperti” sendirian?
Tak aku pahami mengapa orang-orang menutup diri untuk menyembuhkan orang lain tanpa pamrih. Ataukah hanya kepadaku? Aku seperti hidup sebatang kara, memendam segala hal sendiri, hidup tanpa pendengar, hidup dengan larangan untuk bicara.
Duniaku seperti menata neraka sendiri. Berarti aku bisa, kan, menata surga untukku sendiri?
Menggurutu pun bagiku percuma sebab kepada siapa? Tuhan? Tuhan menjawab semua dengan kehendak-Nya, sedang aku benar-benar kesepian, ingin menceritakan sebuah pencapaianku pun rasanya tak punya arti.
Aku jadi rindu hidup sendirian di tanah rantau, benar-benar merindukan hari itu. Dimana kabar tentangku tak perlu ku ceritakan, cukup mengabari lewat pesan singkat, atau dilihat dari sosial media semata.
Aku kehilangan tempat bercerita, tak ada yang peduli denganku. Semua hanya memikirkan dirinya sendiri, atau yang lain namun bukan kepadaku. Aku sangat kerdil tak tersentuh dan tak diperhitungkan. Aku hanya penting jika semua membutuhkanku, aku dianggap ada jika aku akan disuruh entah untuk apapun itu. Apa bedanya aku dengan budak?
Tak ada yang peduli denganku jika itu tak penting bagi semua. Maka akan lebih baik bukan jika aku menghilang dari kehidupan semua orang. Mereka akan baik-baik saja tanpaku, sebab adanya aku hanya pelengkap yang tak penting, ada silakan, tak ada biarlah.
Aku adalah derita bagi semua orang. Aku sebatas dunia terbelakang yang hadirnya tak diinginkan. Menjadi aku adalah penyesalan untuk hidup. Aku lelah, aku benar-benar lelah dengan keadaan.
Sang ahli bilang, “kamu berhak” namun dia bisa apa? Sedang bahagiaku tak pernah nampak, derita tak pernah surut. Katanya lingkunganku racun, sedang yang nampak segala hal adalah yang diidamkan dan banyak kebaikan. Aku kah racun itu? Maka semuanya harus sembuh, bukan? Tanda tanyaku tak pernah berubah, masih banyak tak terjawab.
Sedari kecil tanganku merangkul pundaku sendirian, ku dekap segala duka sendirian, cermin memaksaku tersenyum sebab betapa kian buruknya aku tanpa lengkungan itu. Betapa tak pandainya aku atas kekelaman hatiku sendiri, sempat mati rasa tapi ku pasrahkan lagi, kemudian semuanya jadi menyiksa. Aku salahkan dunia yang memaksaku merasakan sakit yang katanya bisa menyembuhkanku, tetapi semuanya justru menyerangku kian hebat saat aku merasakan derita yang ku tumbuk sedari kecil yang harusnya tugasku hanya bermain.
Terus ku sulam kepiluan yang dibalut senyum itu, memangkas segala dendam demi menjadi aman tuk segala hati yang membutuhkan pagar kuatku. Aku tak bisa kembali baik-baik saja, izinkan aku benar-benar istirahat dari segala derita hati, aku dipenuhi amarah, kecewa adalah teman dekat hatiku. Miriskan aku sebagai manusia yang pantas menggenggam duka.
Aku bertaruh nyawa sejak awal soal cinta adalah kepahitan, betapa ku harus kebal dari segala badai serapah yang memanas di gurun yang kusebut rumah. Hancur lebih mudah dari bertahan membuatku keruh atas segala asa, aku percaya dan luntur membangun harap berulang kali. Aku memeluk ketakutan di ataa kasur dengan nyaman hingga terlelap. Romansa begitu seram namun tak hentinya ku coba lawan, “bisakah aku bertahan?”, dan aku tahui bahwa ku gagal entah hingga tak terhitung lagi.
Bertumbuh remaja dengan diri yang penuh kepura-puraan, topengku bertumpuk meski menyebalkan, aku benci kenyataan namun mimpi buruk tak henti membuatku harus sadar dan kembali melawan dunia. Ada yang mendarah namun luruh di perjalanan hingga aku dewasa, aku tak ingin mati namun tetap hidup seperti keputusan yang salah. Maka, jadilah aku di hari ini sebagai yang hidup dalam jeruji buatan sendiri.
Juni 2020
Komentar
Posting Komentar