Purnama Kesatu
Terang benderang bulan malam ini menghanyutkanku pada begitu banyak cerita menggelegar.
Betapa aku pernah jadi wanita paling tersentuh tiap purnama datang, langit seperti sangat indah sekalipun tertutup awan gelap.
Entah sejak terang ke berapa tak ada lagi hitungan seperti dahulu kala senyum manja penuh harap akan temu.
Namun, tatkala itu, aku masih mengingat bagaimana purnama bulan kemarin berhasil membawaku pada luka yang melunturi tubuhku.
Di bibir pantai sambil memakan es krim rum itu, ku geletakan pundak dengan pasrah, “apakah aku akan terluka lebih parah setelah ini?”.
Katanya, aku meronta, jangan ditinggali lagi, jangan dibiarkan lagi sendirian.
Suara ombak menderu, aku dengar jelas sembari film horor itu terputar hingga lelap menyeka air mataku yang luruh bersama malam.
Aku masih sendirian menanam angin, riuh gelisah pada purnama kala itu membuatku percaya, aku mendendam segala bahagia.
Aku lagi-lagi benar, bahwa aku tak pernah bahagia, aku tak pernah merasakan tenang, aku benar-benar gamang.
Terbakar, seluruh kisah tak sudi menjadikanku bagian dari penulisnya.
Maka aku ditelantarkan sendiri, benar sendirian.
Sebab itulah diriku yang begitu mencintai dirinya telah hangus.
Ia merapal namun hanya untuk diberi kesempatan bisa merasa tenang.
Ia pasrah akan kata bahagia yang maknanya tak pernah ditemui sedari lahir.
Baginya, jika benar manusia akan terlahir kembali, ia akan meronta di surga, bersujud memohon supaya tak lagi dilahirkan ke dunia.
Ia sadar betul, hidupnya tak pernah lebih dari sebatas terluka dan patah.
Ia mengenali betul rasanya, kian lama, kian berusia, kian parah, kian terluka, kian jauh dengan tenang, kian sekarat untuk sekadar bahagia.
Usai, ia benar-benar usai dan mengusap segala derai derita, rayakan saja, meski kosong menghardik tiap detik.
Purnama Kesekian, 1 November 2020
23.23 Iftihal Muslim Rahman
Komentar
Posting Komentar