Perbatasan Cinta



Perbatasan Cinta
Oleh: Iftihal Muslim Rahman

Kami saling bercerita,tapi bukan mengisahkan bahagia kami.
Kami saling memberi perhatian, tapi tidak ingin saling memberi penjelasan siapa kami.
Kami selalu memadu kasih, tapi tak seorang pun yakin bahwa kami bukan apa-apa.
Kami sebatas teman,dan akan selalu begitu.
Ketika kami memutuskan untuk tidak lagi berhubungan,bukan berarti kami tidak saling mendoakan.
Hanya Tuhan yang tahu,kenapa kami tidak bersatu.
Hanya Ia yang mengetahui,apakah ada cinta di dua hati yang tak pernah menjadi satu.

Aku masih menatap matahari,menikmati sejuknya hari di pagi ini. Pagi yang tak seindah dulu,pagi tanpa hadir satu sosok pemberi semangat. Rasanya masih tak sanggup jalanin dunia setelah kepergian seseorang yang sangat aku cintai. Seseorang yang dulu selalu ada,seseorang yang aku banggakan,seseorang yang namanya selalu ada dalam setiap doaku.  Ya,Zartara Huratama. Seorang mahasiswa jurusan teknik mesin. Dia lebih tua 2 semester dibanding aku. Punya sifat sedingin es,angkuh,tapi sangat perhatian. Laki-laki yang tak mudah untuk ditebak.

Kami saling kenal berkat pesta kelulusan senior di kampus ini,Universitas Negeri Jakarta. Ya,mereka yang wisuda tahun ini menggelar penyematan dengan sangat meriah. Saat itu,aku tampil dengan berbeda. Mengenakan gaun hitam dan rambut terurai. Aku membiarkan angin malam mempesona malamku. Rambutku terkena hembusan angin dan beberapa dirapikan oleh teman priaku yang memang genit. "Aduh Hudi,rambutnya cantik banget,lebih cantik kalo abang rapihin nih,berantakan kena angin,haha" Ujar salah satu lelaki genit itu. Aku hanya tertawa mengikuti jalannya bercandaan itu. Tidak marah seperti gadis kampus lainnya. Bagiku,mereka adalah teman. Aku memperlakukan mereka bukan sebagai sampah,aku akan memperlakukan mereka sebaik mungkin dan menghargai mereka. Karena aku tahu,mereka juga pasti melalukan hal yang sama.

"Cantik juga lo jadi cewe! Haha" Celetuk sahabatku,Hara. Kami semua tertawa dengan kalimat itu. "Haha,terus lo pikir selama ini gue apa?" Ucapku yang disambut tawa teman-temanku lagi. "Gaya lo macem laki sih di kampus,jelas shock liat lo jadi cewe gini! Haha" Ujar Hara. Aku langsung menjitak gemas sahabatku itu. Malam ini semuanya ceria. Kami tertawa bahagia bersama. Menceritakan banyak hal di kampus ataupun sekedar mengulang gosip wanita-wanita kampus.

Ditengah keramaian ini,aku merasa ada yang memperhatikanku,dari sudut ruangan ini. Aku memperhatikan sekeliling ruangan. Yang benar saja,saat aku menoleh ke arah tersebut,lelaki yang tadi memperhatikanku langsung menghampiriku. "Zartara Huratama,jurusan teknik mesin semester 4." Dia memperkenalkan dirinya dan memberikan tangannya sebagai isyarat mengajakku berkenalan. Banyak yang memperhatikan kami karena tingkah laki-laki itu yang tidak seperti biasanya. Tidak sedingin dulu. "Huditara Hamura,jurusan psikologi,semester 2." Tanganku membalas jabatan hangat tangannya dengan perasaan heran penuh tanya. Jantungku berdegub sangat kencang. "Apa ini?" Bisikku dalam batin.

Siapa yang tak kenal Ka Zarta? Anak teknik yang sangat kharismatik. Ya,sosok yang begitu dingin. Dan kini mengajakku berkenalan tanpa alasan jelas. "Punya handphone?" Ujarnya datar. "Punya lah,lucu aja gak punya!" Aku pun tertawa. "Berarti punya nomer handphone?" Masih datar. "Iyalah punya." Aku pun ikut datar. "Sebutin" Katanya sambil mengeluarkan Iphonenya. Rasanya sangat kesal,ini orang meminta nomor ponsel dengan sangat menyebalkan,tapi rasanya tidak akan ada kesempatan kedua untuk mengharapkan cowok populer ini meminta nomer gadis maskulin sepertiku. Aku pun mengeja nomer handphoneku. Dia pergi berlalu begitu mendapat nomor handphoneku.

"Kesamber setan apa itu orang ngajak lo kenalan?" Kata Hara yang langsung menghampiriku setelah Zarta berlalu. "Entahlah,ngajak kenalan tapi tingkahnya masih aja dingin. Aneh!" Jawabku yang masih heran. "Dia memang angkuh orangnya,sangat arogan. Dan yang gue denger,dia begitu karena patah hati,dia itu setia.Itu sih nilai positifnya. Soalnya dia setia banget sama mantannya,dia belum move on alias masih cinta sama mantannya,makanya dingin banget sama semua orang,termasuk cewek,aneh ya." Jelas Hara.

"Hah mantan? Terus untuk apa ajak aku kenalan? Mau mendekatiku? Menjadikan aku sebagai pelampiasan?" Semua pertanyaan kotor itu menggerogoti fikiranku setelah mendengar ucapan Hara. Ada sesak setelah mendengar pernyataan Hara tadi. Tiba-tiba seperti ada paku yang menancap di jantungku. Aku pun memutuskan untuk menenangkan diri di taman. Aku langsung meninggalkan Hara dan pergi keluar. Menuju taman kampus yang begitu sunyi karena para mahasiswa menikmati suasana pesta di dalam kampus.

"Ada apa denganku? Aku menyukai pria kharismatik itu? Masa? Aku bahkan baru mengenalnya. Meski sebelumnya kadang memperhatikannya ketika dia lewat dihadapanku ataupun melihatnya dari jauh,saat melintas di depan kelasnya misalnya. Tapi hatiku sakit mendengar dia masih mencintai mantannya. Apa itu benar? Lalu kenapa ia mengajakku berkenalan? Ah!" Hatiku merisaukan perbincangan dengan Hara tadi.

"Langit malam memang menenangkan disaat yang sunyi ini. Apalagi ketika hati sedang risau. Tapi kamu bisa sakit terkena angin malam jika duduk disini dengan pakaian gaun yang tidak menutupi seluruh tubuhmu." Aku sangat kaget mendengar rentetan kalimat itu. Penuh perhatian. Tapi siapa lelaki yang bicara itu? Astaga! Itu Zarta! "Eh kakak. Ada apa?" Kataku yang disambut Zarta dengan senyuman tipis. Dia langsung duduk disampingku. "Menemani sepimu"

Aku hanya diam. Tak berharap banyak atas perilaku anehnya. Terlebih mengetahui ia masih mencintai mantannya. Pernyataan Hara masih sangat terniang di telingaku. Membuatku kaku menghadapi lelaki ini. Zarta melepas jasnya dan memakaikannya ke bahuku. "Jangan panggil aku dengan sebutan kak atau kakak. Cukup sebut Zarta." jelasnya. "Iya Zarta". Hening malam memperkuat suasana sunyi malam ini. Hanya suara jangkring atau suara dahan pohon yang tertiup angin.

"Hudi.." Panggilnya. "Iya,Zarta?" Aku menoleh kearahnya. Mata kami saling menatap. Aku menemukan damai yang tak pernah ku rasakan sebelumnya. Tatapan itu menusuk hingga ke hati. Membuatku mulai meyakini ada rasa yang beda. Dan Zarta terlihat makin dekat. Mata kami saling menyambut. Ada rasa yang berbeda. Suasana sunyi. Udara yang dingin berubah hangat. Bibir Zarta terasa di bibirku. Getaran rasa itu semakin terasa,lembut,dan membuatku semakin nyaman. Saling meresapi satu sama lain. Hangat peluk Zarta mulai terasa,membuatku semakin nyaman. Entah apa yang membuatku begitu kaku untuk menolak ciuman dan pelukan itu. Ada damai disana. Aku menikmati alur malam yang dibuat Zarta.

Aku tersadar. Melepas pelukannya dan membuka jasnya. Aku seperti terhipnotis. Tapi jujur,aku menikmati kenyamanan yang dibuatnya. Aku langsung masuk ke dalam ruangan pesta. "Apa yang aku lakukan tadi?" Batinku berbisik. "Zarta,aku,Tuhan!" Keluhku. "Dari mana lo? Dicariin!" Ucap Hara yang sontak mengagetkanku. "Dari luar,cari angin." Singkatku. "Cari angin atau cari Zarta?" Ledeknya saat melihat Zarta juga baru masuk dari luar. Dia tersenyum manis ke arahku. "Ciiieeeeee!!!" Ledek Hara. "Apaan sih! Gila tu cowo! Gak usah bahas dia!" Kesalku. "Jangan lawan perasaan lo. Haha, akhirnya normal juga lo! Gue kira lo lesbi selama ini!" Hara makin meledekku dan tawanya penuh hinaan membuatku makin kesal. Aku langsung berjalan tak pedulikan Hara yang makin usil mengejekku.

Malam semakin larut,dan pesta pun berakhir. Aku berjalan menuju parkiran bersama Hara. Baru sampai parkiran dan akan menaiki mobil Hara,Zarta menghentikan langkahku. "Pulang denganku" Ucapnya yang tanpa basa-basi dan menarikku. Aku tidak bisa melawan tangan yang kuat menarik tanganku itu. Ia membuka pintu mobil untukku. "Masuk" perintahnya. Aku masuk ke mobilnya. Aku masih shock saat masuk ke dalam mobilnya. "Apa-apaan sih kamu!" Bentakku. "Nikmati malam ini bersamaku. Pulang denganku" Katanya singkat dan langsung melajukan mobil dengan cepat. "Maaf ya,Har. Jadi pulang bareng Zarta tiba-tiba gini. Maaf banget :(" Isi pesan singkatku pada Hara. Aku sangat merasa tidak enak pada sahabatku itu. "Woles,udah sampe rumah lo?" Tanyanya. "Belum,gue masih dijalan." "Yaudah,hati-hati bro dijalan!" "Yoi,Sob!"

Setelah membalas pesan Hara yang terakhir,aku langsung melihat arah jalanan dan kaget. "Hey! Rumahku ke arah sana!" Bentakku lagi. "Kita nikmatin malam dulu" Singkatnya. Aku diam. Rasanya sangat kesal,tapi aku tidak bisa melawan. Tak lama,kami sampai di sudut kota jakarta. Indah. Satu kata yang tergambar atas tempat ini. "Ngapain kesini?" Tanyaku. "Makan" Singkatnya. "Beliin kek! Udah ngajak,gak beliin awas aja!" Dia berbalik memberi semangkuk bakso. "Tanpa saos,dengan sedikit sambal,Nona" Ucap Zarta memberikan mangkuk itu. Senyumnya sangat manis ketika memberikannya. Aku tersenyum dan mengambil mangkuk itu. Istimewa.

"Seru suasananya. Seneng main kesini. Sering-sering ya nemenin aku." Ucap Zarta. "Kamu kenapa sih? Tiba-tiba ngajak kenalan,terus sekarang ajak pergi,minta sering-sering pula! Aneh" Tanyaku yang membuat Zarta diam. "Udaranya makin dingin" Dia mengalihkan pembicaraan dan memberiku jasnya. "Jawab!" Tegasku. Zarta mengela nafas.
"Aku sering memperhatikanmu di kampus. Kamu manis. Tapi nampak tegas. Temanmu banyak lelaki tapi kamu santai saja. Dan lelaki itu malah takut denganmu." Kami berdua tertawa. "Aku baru berani mengajakmu berkenalan,yaaa. Nekat ngajak kenalan sih sebenernya." Tambahnya. "Untuk apa mengenalku?" Tanyaku lagi. "Untuk belajar mencintaimu." Aku tertegun mendengarnya. Apa tadi dia bilang? Belajar mencintaiku? Kami saling menatap,semakin dekat,dan... Bibir kami kembali bersentuhan,menikmati kasih masing-masing pihak. Menikmati udara malam yang dingin dan mengubahnya menjadi hangat. Saling berpelukan dan saling menghangatkan.
###
Kami semakin dekat dari hari ke hari. Sering pergi berdua,kemanapun itu. Aku bahkan diberikan kalung sangat indah dan gelang unik. Aku nampak anggun setiap bersamanya. Dan aku segera sadar bahwa aku mulai terperangkap dalam hatinya. Ya,aku cinta dia. Kami sering ke taman berdua,ke danau yang mempesona pandangan kami,menyusuri jalan-jalan ibu kota. Bahkan ia sering ke rumahku untuk sekedar bertemu dengan keluargaku. Aku juga sering diajak ke rumahnya. Berkenalan dengan keluarganya hingga sangat dekat dengan keluarganya.

Sore ini,ia mengajakku nonton bioskop di mall terdekat. Ya,pertama kalinya kami nonton berdua,dibangku C2 dan C3,Twilight: Breaking Dawn. Meski Zarta tidak mengerti alur film itu,tapi ia nampak menikmatinya bersamaku. Kami menikmati film itu,dan saling bahagia disaat itu. Aku bersandar dipundaknya. Sesekali ia mengusap kepalaku. Ia merangkulku dan menggenggam erat jemari tanganku. Selesai menonton film itu,kami memilih keluar mall tanpa mobil dulu,kami jalan kaki menikmati malam. Melewati jembatan layang dan saling bergandengan. Bercanda dan tertawa bersama. "Kaki ku pegal" Keluhku saat turun dari jembatan. "Sini!" Zarta langsung menggendongku. "Heyyy!!!" Ucapku,dan kami tertawa bersama.

Aku mencium pipi kirinya. Ia tersenyum melihat ke arahku. "Yang kanan?" Sambil mengarahkan pipinya ke wajahku. "Itu suaranya manja banget sih,sini-sini dicium!" Aku tidak mencium pipi kanannya,aku mencium bibirnya. Ia tersenyum dengan sangat manis dan menurunkanku. Kami saling berhadapan. "Terima kasih untuk malam ini" Ditengah jalan ibu kota ini,dia mencium keningku sambil memelukku. Setelah puas berjalan-jalan kami masuk ke mall lagi dan langsung pulang. Kami menikmati hati yang indah ini.
###
"Ke TMII,yuk!" Isi pesanku. "Sejam lagi aku sampai dirumah kamu." Singkat Zarta. Zarta memang seperti itu. Tidak langsung bilang iya atau tidak. Ia sangat sigap. Tak lama,ia datang. Tanpa memperlambat waktu,kami langsung berangkat. Sesampainya disana,kami bersenang-senang bersama. Kami menaiki gondola. "Hei,aku sayang kamu" Ucapku sambil menyandarkan kepalaku pada dada bidangnya. "Akupun menyayangimu" Dia mencium hangat keningku.

Zarta mengajakku berfoto-foto hampir disetiap sudut tempat ini. Bahkan didalam mobil. Begitu banyak gambar diabadikan bersamanya hari ini. Sangat menyenangkan. Aku pulang dengan perasaan sangat bahagia. Oh Tuhan!!!! Aku cinta dia!!
###
Sudah 16 bulan lebih kami dekat,sudah banyak cerita yang Hara dengar tentang Zarta. Lebih tepatnya tentang aku dan Zarta. "Berhenti menjadi tumbal!" Ucap Hara yang membuatku kaget dan sangat terpukul. "Maksud lo?" "Sadar,Di. Jangan terus menaruh harap. Lo dan dia gak kunjung jadian! Lalu setahun lebih ini yang lo anggap indah apa?" "Entahlah,tapi bukankah status bukan prioritas utama dalam hubungan? Gue cinta dia dan gue yakin dia juga cinta sama gue." "Tapi dia ga pernah ungkapin kalau dia ingin lo jadi miliknya!" "Ya mungkin,dia butuh waktu untuk lebih mengenal gue." "Apa? Waktu? Lo sinting! 16 bulan lo pikir waktu yang masih sebentar?Gila lo!"

"Lo ga ngerti,Har.Gue dan dia nyaman kok dengan situasi ini." "Apa lo bilang? Nyaman? Nyaman dengan friend zone ini? Mau sampai kapan lo cuma sekedar deket? Lo ciuman sama dia,pelukan,nonton,jalan,bahkan kedua orang tua kalian udah saling kenal. Lo pikir itu enak? Lo harus tegas!" Bentak Hara yang langsung diam dan sibuk dengan gadgetnya. Dia memang sahabat yang baik,dia tidak ingin aku terluka. Tapi aku tak bisa menjauh. Aku rasa,aku makin larut mencintai Zarta. Aku tau,Hara tidak akan membiarkan aku sedih dan kecewa mendapati kenyataan pahit yang tak berpihak padaku. Menghadapi aku yang sedih dan hancur,ia tak akan tega mendapatiku merasakan hal tersebut.

Sore itu,aku dan Zarta pergi ke pantai. Aku meminta Zarta mengantarku kesini. Aku ingin menikmati senja yang sendu. Rasanya jantungku berdegub kencang. Perasaanku sangat tidak karuan. Semua kalimat Hara membuatku sakit dan berfikir keras. Aku ingin memperjelas semuanya. Aku menatap langit senja yang sebentar lagi meredup. "Hubungan kita ini apa,Zar?" Tanyaku yang masih menatap langit. Zarta terkejut dan menatapku dalam-dalam. Aku balik menatapnya. "Kenapa?" Heranku sambil tersenyum kepadanya. Mataku mulai berkaca-kaca. "Apa status penting bagimu?" Seriusnya.

"Apa kamu mencintaiku? Seperti aku yang sangat mencintaimu. Bertahan meski tak tau kapan dimiliki,diakui. Menahan sakit dari semua pertanyaan orang tentang kita. Siapa aku di matamu?" Aku masih tersenyum dan kembali menatap langit,menahan air mata. Suasana hening,akhirnya tetes bening mengalir membasahi pipiku. "Aku nyaman dengan kamu. Aku sayang kamu. Tapi.." "Tapi apa?" Aku langsung mempertegas. "Tapi kamu masih mencintai mantan kamu? Selama ini kamu anggap aku apa? Kamu jadikan aku pelampiasan? Satu tahun lebih,Zar! Itu gak sebentar. Kamu mengukir banyak kisah indah dihidup kamu. Tapi aku hanya pelampiasan? Iya?! Lalu apa artinya genggamanmu? Apa arti pelukan dan ciuman itu? Peluk itu? Apa arti semua ini?" Aku meluapkan semua isi hatiku yang tak dapat terbendung lagi.

Zarta kaget mendengar semua pernyataanku. "Tau dari mana kamu soal 'mantan' ku?" Belum banyak yang dia ucapkan dan aku mulai bicara lagi. "Harusnya kamu gak buat aku jadi secinta ini sama kamu. Harusnya kamu gak lakuin semua itu ke aku. Harusnya aku gak usah kepedean kamu bakal bales cinta aku. Karena sekeras apapun aku berusaha,gak akan pernah ternilai dimata kamu. Kamu terkenal,apapun informasi tentang kamu bisa dengan mudah terdengar ditelingaku." Air mataku semakin deras mengalir.

"Tapi,Di.." "Pergi,Zar. Kejar dia yang kamu cinta. Buat apa pedulikan aku? Percuma! Untuk apa bertahan disini? Mau buat aku semakin hancur? Aku cinta kamu,Zar. Aku sayang banget sama kamu. Tapi aku gak akan bisa bahagia lihat kamu menderita disini. Raga kamu didekat aku,tapi cinta kamu? Hanya milik dia,kan? Yang kamu cinta bukan aku. Aku pergi. Berhenti buat sakitin hatiku sendiri. Bukan aku menyerah,aku berhenti berjuang untuk berhenti membunuh hatiku yang semakin sakit. Aku gak akan berhenti mencintai kamu. Kamu satu-satunya dihati aku."

Zarta memelukku. "Maafin aku,Hudi.Maaf!" Aku tersenyum dalam tangisan yang tidak dapat ku tahan lagi. "Aku cinta kamu,Zarta. Cinta ini terlalu tulus untuk membencimu. Aku bahkan gak bisa marah denganmu. Kamu cinta pertama aku,cinta terakhir ku. Bahkan aku gak yakin bisa lupain kenangan kita,lupain kamu,Zar."

Pelukan Zarta semakin mengikat,makin terasa hangat. Aku sangat nyaman hingga tak kuasa melepas pelukan itu. Zarta melepas pelukannya. Ia mencium keningku,penuh pesan perpisahan. Lalu ia mencium kedua pipiku,dan terakhir,ia mencium bibirku. Ciuman ini begitu berbeda. Ciuman perpisahan. Ya,aku tau itu. "Selamat tinggal,Sayang.Aku cinta kamu." Bisikku saat Zarta kembali memelukku. "Tuhan,tahukah engkau? Kisah ini terlalu indah untuk berakhir" batinku.

Aku melepas pelukan Zarta. Menatap langit senja yang sudah gelap. "Tuhan itu adil. Dia mempertemukan kita,kita bahagia bersama,dan dipisahkan dengan cara yang indah. Ya,perpisahan terindah." Aku tersenyum menatap Zarta yang menunduk setelah aku mengatakan hal itu. "Hei,aku baik-baik saja,Sayang. Kembali lagi jika kamu sudah siap mencintaiku. Pintu hatiku slalu terbuka untukmu." Ucapku. Aku langsung memeluk Zarta. "Semoga kita akan dipertemukan di lembar yang sama." Bisikku.

Pelukan itu sangat lama. Hingga Zarta memutuskan untuk pulang. Zarta menggenggam erat tanganku menuju parkiran. Hening suasana dalam mobil. Aku bersandar pada pundaknya,sambil menangis. Sesampainya dirumah,Zarta menatapku,menuntun wajahku dengan tangannya,semakin dekat dengan wajahnya. Mata kami saling terpejam. Bibir kami bersentuhan. Saling menikmati ciuman terakhir ini,sunyi. Malam perpisahan itu berakhir. Kami berhenti dan Zarta memelukku.

"Maafin aku,Huditara Hamura." "Aku akan selalu menunggumu pulang,Zartara Huratama." Aku keluar dari mobil,masuk ke rumah. Masuk ke dalam kamar,membuka layar handphone,menatap semua foto bersama Zarta. Saat ke taman mini,air terjun,taman,danau,dan semua kenangan lainnya. Semua tempat punya cerita,tentang aku dan Zarta.

Jelang sebulan,Zarta kembali dengan mantan kekasihnya. Ya,aku frustasi berat,nyaris mati beberapa kali saking depresinya. Mulai dari mengendarai motor hingga hampir tertabrak karena menangis dan jalan menjadi buram akibat air di mataku,minum banyak obat,tidak makan dan minum,yang pasti aku sangat hancur. Mereka tak segan memadu kasih dihadapanku. Bahkan mereka berdua tidak segan berciuman di hadapanku. Zarta berubah,dia menjadi sosok yang angkuh dan dingin terhadapku. Seolah tak pernah mengenalku dan seakan aku tak pernah jadi orang spesial dalam hidupnya.

Saat Zarta kembali pada mantannya yang bernama Inakha,aku mencapai puncak kehancuran hingga jatuh sakit. Bahkan di media sosialku,aku menjadi sangat update meluapkan semua sakit hatiku. Tapi Zarta menanggapinya dengan tidak suka. Dia menghinaku habis-habisan di akun twitternya. "Tega kamu,Zar." Batinku. Kami berdua seakan musuh yang beradu argumen. Bahkan ketika aku mencoba mengirim pesan padanya,respon dia sangat dingin. Dan dia benar-benar menghujatku habis-habisan. Dia menghindar dariku. Aku seperti najis yang tidak layak dalam hidupnya. Entah di mana titik salahku. Hingga detik ini pun aku tidak tahu.

Hingga pada enam bulan kemudian,aku melihat pasangan keji itu saling menggalau. Dan satu bulan kemudian mereka putus. "Mereka putus!" Ujarku pada Hara. "Terus?" Dingin Hara. "Ya bagus dong,berarti gue bisa deket lagi sama Zarta!" "Sadar,Di! Bukan lo yang dia mau!" Hara langsung meninggalkanku. Dan benar saja,pada malam harinya Zarta telah memiliki kekasih baru,Mauly. Setahun lebih muda dariku. Tapi itu tidak berlangsung lama. Hanya beberapa hari mereka putus. Dan aku yakin,Mauly hanya pelampiasannya dari Inakha. Aku merasa memiliki kesempatan untuk dekat lagi. Bahkan aku sampai mencoba SMS,BBM,Whatsapp,hingga Line dan WeChat. Tapi semua hanya ia baca tanpa ia balas. Aku semakin putus asa. Tapi harapan itu tidak dapat ku hilangkan.

Satu bulan kemudian,Zarta memiliki kekasih baru. Wajahnya nyaris mirip dengan Inakha. Namanya Sadila. Aku masih saja sering menstalking mereka berdua di akun twitter. Memang sakit,tapi rasa ingin tahuku membuatku sulit meninggalkan kebiasaan ini. Kadang aku tertawa membaca tweet wanita itu. Apalagi ketika melihat nama lengkap Zarta salah ia tulis. Dan aku menulis nama Zarta di salah satu tweetku. Aku sering sekali menulis tweet untuk Zarta. Entah ungkapan cinta,tungguku,sampai rinduku aku luapkan hanya lewat tweet. Hanya berharap ia merasakan rindu yang sama.

Hingga pada ulang tahun Zarta yang ke dua puluh tahun,aku mengucapkannya lewat mention. Tanpa aku sangka,dua hari kemudian Sadira membacanya dan meretweetnya. Hingga kedua pasangan itu menghujatku di kedua akun twitternya. Aku terluka dan merasa terhina. Salah aku apa hingga Zarta sebenci itu padaku? Aku bahkan tidak tahu apa salahku.

Aku geram dengan semua caci makinya hingga berani memakinya dalam pesan singkat. "Sumpah ya,Zar! Demi Tuhan,lu gak akan pernah hidup tenang! Tuhan bakal bales semua perbuatan lo! Hidup lo bakal jauh lebih menderita dari ini! Lo bukan manusia! Lo iblis!" Isi pesanku. "Ya Tuhan,siapa sih ini? Mau lu apa, coba coba teror?" Balasnya. Emosiku memuncak. "Gak usah sok suci,segala nyebut nama Tuhan. Puas lo bikin gue menderita! Puas lo hina gue seenaknya! Gue bukan pengecut yang bisanya neror! Ga perlu gue kasih tau nama gue,pasti lo udah tau. ORANG YANG GAK PERNAH SEDIKIT PUN LO HARGAI.ORANG YANG SELALU LO HINA. Tuhan ga tidur Zar. Semua ada waktunya. Semua penderitaan gue,semua sakit hati gue,semua yang udah hancur. Sumpah ya,lo bahkan lebih hina dari binatang!" Aku menangis,tidak kuasa menahan semua sakit hati yang telah Zarta lakukan. Semua kesakitan itu terputar kembali dalam ingatanku. Semua air mata,semua kecewa,semuanya. Tentang luka.

Tak lama,Zarta membalas pesanku. "Amin. Semoga ucapan dan doa anda ini terkabul,memang saya makhluk yang hina jauh lebih hina dari binatang. Semoga doa saya selama ini untuk anda pun terkabul. Semoga anda jauh lebih baik untuk kedepannya,semoga anda mencapai keberhasilan anda,semoga semua kekhilafan di masa lalu di maafkan oleh Tuhan. Amin." Apa tadi dia bilang? Doa dia selama ini untukku? Doa apa? Namun dengan emosi yang masih memuncak,hal itu tidak menjadi penenangku.

"Hebat,pintar anda merangkai kata-kata. Muak dengan semua ocehan anda yang selalu merasa anda PALING BENAR dan saya PALING SALAH. Tuhan maha adil. Inget itu Zar!" "Iyah,saya paling salah, Tuhan maha adil. Mohon maaf bila berkenan" Membaca kalimat itu,aku malah semakin sakit hati. Maafnya tanpa ketulusan. Ia hanya mengiyakan apa yang aku katakan. Aku pun tidak membalasnya dan mulai menutup rapat perasaan ini. Dan aku berjanji untuk tidak lagi mengharapkannya.
#####
Beberapa hari kemudian,ponselku terus berdering. Aku kaget melihat layar,telephone yang masuk itu dari orang yang sangat dekat dulunya denganku. Mama Zartara. "Halo" Ucapnya di ujung telefon sana. "Iya halo tante. Ada apa?" "Hudi,kamu bisa ke rumah sakit sekarang?" "Tante kenapa? Sakit?" "Kamu datang saja dulu ke rumah sakit budi asih sekarang juga. Tante mohon." Aku pun langsung menutup sambungan telefon dan segera pergi kesana.

Sesampainya disana,Mama Zarta sudah ada di lobby. "Siapa tante yang sakit?" Mama Zarta masih saja menangis tanpa menjawab pertanyaanku. Ia membawaku ke ruang rawat inap. Dan begitu masuk disana,aku melihat sosok yang terbaring lemah itu. Aku mengenalnya,bahkan aku tak kuasa menahan air mataku begitu melihat dia disana,Zartara.

Aku menggenggam tangan Mama Zarta. "Kenapa tante bawa aku kesini?" "Zarta terus menerus menyebut nama kamu." Perlahan aku melangkah mendekatinya. Hingga aku berdiri tepat disampingnya. Aku menatap lurus ke depan. Tidak ingin bicara. Mama Zarta pun meninggalkan kami berdua di dalam kamar inap.

"Hudi..." Suara itu memanggil namaku. "Kenapa kamu bisa ada disini?" Ucapku tanpa mau melihatnya. "Tempo hari aku kecelakaan. Dokter bilang,aku kehilangan banyak darah. Tapi karena fisikku kuat,aku masih mampu berkomunikasi hingga detik ini." Jelasnya. "Apa hubungannya dengan ku? Harusnya Sadila yang kamu panggil kesini" Dinginku.

"Umur ku gak lama lagi. Gak ada transfusi darah untuk golongan darahku. Mama dan Papa gak bisa transfusi karena mempunyai penyakit. Adik-adikku masih kecil. Aku pasrah." "Terus mau kamu apa?" "Hudi.." Ia menggenggam tanganku. "Apa?" Aku melepas tangannya. "Tolong ambil kotak itu." Ia menunjuk ke arah bawah meja.

Aku pun mengambil kotak itu. "Bawa pulang kotak itu. Dan aku,aku minta maaf untuk semua sakit hatimu. Maaf telah membuatmu sejatuh ini. Aku benar-benar minta maaf." Suaranya terdengar serak. Dia menangis. "Aku baik-baik aja. Gak sejatuh yang kamu fikir. Aku kuat." "Hudi,tolong maafkan aku. Maaf untuk semuanya." Tangisnya mulai tumpah. Aku menatapnya dalam-dalam. "Iya,kamu gak perlu nangis." Aku menghapus air matanya.

"Aku cinta sama kamu. Sesakit apapun hati aku,sebelum kamu minta maaf pun aku akan memaafkan kamu." "Maafkan aku,aku tau aku salah. Kamu terlalu baik untuk disakiti. Maaf." "Iya Zarta" Mama Zarta masuk ke ruangan. Aku pun langsung meminta izin untuk pulang. Kotak yang aku bawa cukup berat. "Apa isinya?" Batinku. Aku sangat penasaran.

Sesampainya di rumah,aku membuka kotak itu. Setelah membukanya,aku langsung meneteskan air mata. Banyak sekali foto-foto kami berdua yang telah di cetak. Dan disana ada memory card yang setelah ku buka,isinya tak lain adalah semua foto tentang aku dan dia,yang aku kira telah dia hapus,ternyata masih ia simpan. Aku terharu melihatnya. Dan yang paling membuatku semakin merintih,adalah surat-surat permintaan maaf Zarta yang sangat banyak. Surat itu tak lain ditujukan untukku.

"Tuhan,aku sayang dia,aku cinta dia. Jaga dia Tuhan. Dan tolong maafkan aku Tuhan bila aku menyakiti hatinya dengan semua sikapku. Aku hanya ingin dia melupakan dan membenciku. Dan tolong Tuhan,beri aku kesempatan untuk menjadi jodohnya. Temukan kami di lembar yang sama,Tuhan. Aku cinta dia" Surat Untuk Tuhan,begitu tulisan yang tertera di amplop berisi surat tersebut. Dadaku semakin sakit. Teriris membacanya. Jadi selama ini dia hanya ingin menjauh dariku? Kenapa dia lakukan itu?

Aku langsung berlari menuju parkiran rumah dan menuju ke rumah sakit. Sesampainya disana,Mama Zarta langsung memelukku. "Tante gak tau harus gimana. Zarta semakin kekurangan darah." Ucapnya diiringi tangis. "Tante,golongan darah Zarta apa?" "B Hudi" Aku langsung melepas pelukannya dan berlari menuju ruangan dokter. Setelah beberapa menit dokter melakukan pemeriksaan terhadapku,aku langsung masuk ke ruang transfusi darah. Zarta dan aku berdampingan di ruangan ini. Surat yang telah aku buat untuk Zarta pun aku masukan ke saku baju Zarta.

Transfusi selesai. Aku di dorong dengan kursi roda oleh suster. "Hudi..." Mama Zarta langsung memelukku lagi. "Terima kasih,Nak. Terima kasih telah menyelamatkan nyawa Zarta." "Golongan darah kami sama,dan aku gak akan biarkan orang yang aku cintai pergi begitu saja." Aku hanya tersenyum. Kemudian aku mencoba berdiri. Baru akan melangkah,aku terjatuh. Aku tidak sadar apa yang terjadi. Hingga aku bangun dari tempat tidur rumah sakit.

Aku melihat Zarta menangis di depan wanita,dia memeluk wanita itu. "Bangun!!! Aku cinta kamu! Aku juga ingin kamu tetap disini! Jangan pergi! Aku udah baca surat kamu! Kamu minta aku gak akan tinggalin kamu kan? Tapi kenapa kamu tinggalin aku!" Dia menjerit begitu keras. Aku merasa cemburu melihatnya. Tunggu---

Siapa wanita itu? Apa? Itu aku? Lalu? "Zarta sadar! Hudi sudah pergi! Kamu harus mengikhlaskan dia! Dia mencintaimu dan dia pasti tidak ingin melihatmu menangis seperti ini! Hudi masih ada dalam setiap aliran darahmu,Nak! Hudi hidup dalam jiwamu!" Aku melihat Mama Zarta memeluk Zarta dan mendengar ucapan Mama Zarta. Dan aku mulai sadar apa yang terjadi setelah mendengar kalimat itu. Aku sudah pergi. Selamanya.

Semua akhir tidak selalu indah. Takdir,hanya Tuhan yang tahu. Setiap orang bahkan memiliki caranya masing-masing untuk mencintai. Dan aku,memilih untuk membiarkan diriku tetap hidup di dalam diri orang yang aku cintai. Aku rela melakukan apapun untuk bahagianya. Untukmu,Zarta. Aku mencintaimu. Cinta,akan datang pada waktu yang tepat,mungkin nanti. Di surga.

Komentar

Postingan Populer