Aku, Kamu dan Kita Sebagai Aktivis
Aku, Kamu dan Kita Sebagai Aktivis
Tiba – tiba terngiang dalam
sudut pikiran, bahwa kawan bercerita untuk tidak menjadi aktivis yang begitu
aktif cakupannya alias sekadarnya, sebab sang kekasih sudah menjadi aktivis
sedemikian rupa. Percayalah saya mengiyakan pendapat tersebut. Kekasihnya adalah
seorang aktivis, yang cakupannya adalah nasional. Maka biarkan ia jadi manusia
biasa sehingga ruangnya sebagai aktivis tidak saling mengganggu.
Sebab percayalah, politik
adalah suatu hal yang begitu kejam dan mengiris sangat tajam apalagi dalam
suatu hubungan. Ini perihal pendapat, bukan? Saya, pernah menjadi kekasih
seorang yang begitu aktif sebagai aktivis kampus. Katanya, saya harus berhenti
terjun lebih dalam, tapi saya menolak.
Awalnya saya pikir mengapa
terlalu kejam hingga hubungan ini benar – benar tidak dalam frekuensi yang
sejalan lagi. Ternyata memang seperti itu, saya dengan idealis diri sendiri
begitu pula ia. Akhirnya kami sama – sama berperang dalam ideology yang
berbeda.
Tak ada yang lebih menyesal
dari menjadi pembangkang kala itu. Namun saya bersyukur ada dalam suasana kala
itu sebab saya belajar banyak hal dari sana. Segalanya beresiko, begitu pula
ketika memilih jadi aktivis daripada kekasih yang baik.
Akhirnya menjadikan saya
seperti sekarang ini, dengan jabatan terakhir sebagai Plt Ketua BLM FISIP US
dan Koordinator Litbang LPM Gemercik. Tidak ada yang sia – sia bukan? Akhirnya pun
saya menemukan seseorang yang satu frekuensi dengan saya. Berbahagia dengan dia
yang akhirnya membuat saya banyak belajar untuk menjaga frekuensi tersebut.
Egositas menjadi aktivis yang
ada dalam tingkat nasional selalu ada, selalu saya katakana saya ingin, namun
kami adalah sama – sama anggota Pers Mahasiswa di kampus kami masing – masing,
jika saya naik ke tingkat nasional maka dia yang ada di tingkat provinsi akan
bertabrakan frekuensinya dengan saya.
“Jangan” katanya kala saya
meminta izin. Jelas saya terima, saya piker lagi, dunia saya harus berubah
untuk tak lagi memikirkan ego tetapi nurani untuk hidup bahagia dengannya, juga
dengan hobi saya yaitu menulis.
Saya bangkit menjadi lebih
dewasa, sesame aktivis yang jelas saya jangan sampai melebihi kapasitas lelaki
saya, sebab dengan begitu saya bias merasa lebih hebat. Saya tidak akan
menampik untuk merasa lebih hebat, itu pasti ada dalam egositas saya, dan itu
dia yang saya jaga, harga diri kekasih saya sebagai seorang laki – laki.
Dunia telah mengajarkan saya
untuk jadi perempuan yang lebih baik meski belum benar – benar baik. Seluruh pengalaman
ini menemukan saya pada titik terbaik, untuk ikhlas pada banyak hal, dan
kebahagiaan.
Cerita dari hati yang telah
tenang, Iftihal Muslim Rahman
Komentar
Posting Komentar